Di Yangon, pengunjuk rasa memegang balon merah, sementara mobil dan bus melambat untuk membunyikan klakson mendukung demonstran.
Banyak yang memberikan hormat tiga jari, yang telah menjadi simbol perlawanan terhadap otoritarianisme di wilayah tersebut.
"Hormati suara kami," tertulis di salah satu spanduk yang merujuk pada kemenangan telak NLD dalam pemilihan November.
Myo Win, seorang pengunjuk rasa berusia 37 tahun, mengatakan kepada kantor berita AFP: "Kami akan bergerak maju dan terus menuntut sampai kami mendapatkan demokrasi."
Sejauh ini, otoritas militer, yang dikenal dengan taktik penindasan dan kekerasan, tidak menghentikan aksi pembangkangan massal ini.
Namun, banyak orang berasumsi otoritas akan mencoba melakukannya dalam waktu dekat, lapor wartawan BBC Asia Tenggara, Jonathan Head.
Suu Kyi dan para pemimpin senior NLD, termasuk Presiden Win Myint, telah menjadi tahanan rumah sejak militer mengambil kendali pemerintah dan mengumumkan keadaan darurat selama setahun.
Truk polisi dan petugas antihuru hara ditempatkan di jalan-jalan dekat Universitas Yangon (07/02), tapi belum ada laporan tentang kekerasan.
Protes hari Minggu (7/2) disebut sebagai yang terbesar sejak apa yang disebut Revolusi Saffron pada 2007, ketika ribuan biksu negara itu bangkit melawan rezim militer, lapor kantor berita Reuters.
Kelompok hak asasi manusia Amnesty International menyebut pemblokiran internet "keji dan sembrono" dan memperingatkan hal itu dapat menempatkan rakyat Myanmar pada risiko pelanggaran hak asasi manusia.
Pelapor khusus PBB untuk Myanmar, Thomas Andrews, mengatakan: "Para jenderal sekarang berusaha untuk melumpuhkan gerakan perlawanan warga - dan membuat dunia luar berada dalam kegelapan - dengan memutuskan hampir semua akses internet."