PERU - Lebih dari 270.000 wanita disteril di bawah program pengendalian kelahiran massal selama tahun 1990-an - dan ribuan orang mengatakan mereka tidak pernah menyetujui prosedur tersebut.
Serafina Ylla Quispe suatu ketika terbangun di kamar mayat rumah sakit di Cusco, di dataran tinggi selatan Peru, setelah ia dinyatakan meninggal dalam operasi untuk mengikat saluran tuba falopi rahimnya.
Saat itu, Serafina berusia 34 tahun dan mengaku tidak pernah menyetujui operasi yang dijalaninya pada tahun 1997 itu.
Pada tahun yang sama dan di rumah sakit yang sama pula, Victoria Huamán diduga diberi anestesi dan terbangun beberapa jam kemudian tanpa menyadari bahwa ia telah menjalani prosedur sterilisasi pada usia 29 tahun.
Rudecinda Quilla berusia 24 tahun ketika dokter mengatakan kepadanya bahwa ia tidak akan diizinkan untuk mendapatkan akta kelahiran untuk putra keempatnya, kecuali ia setuju untuk menjalani operasi sterilisasi.
(Baca juga: PBB: Hari Paling Berdarah di Myanmar, 50 Orang Tewas, Aparat Gunakan Peluru Tajam)
Perempuan itu menolak, tapi ia lalu dipaksa kembali ke ranjang rumah sakit, tangan dan kakinya diikat saat ia disuntik dengan anestesi.
Demikian penuturannya dalam akun pribadinya yang sekarang digunakan sebagai bukti hukum.
Quilla bangun beberapa jam kemudian, diberitahu oleh staf bahwa ia tidak akan pernah "melahirkan seperti hewan" lagi. Kejadian itu dialaminya pada tahun 1996.
Mereka hanyalah sebagian kecil dari ribuan perempuan yang mengaku dipaksa untuk menjalani sterilisasi pada tahun 1990-an dalam rangka program pengendalian kelahiran di masa pemerintahan presiden Peru berkuasa saat itu, Alberto Fujimori.
Kini, pengadilan di Peru akan mendengarkan cerita mereka untuk pertama kalinya, untuk mempertimbangkan apakah mereka bisa mendapatkan keadilan dan kompensasi setelah perjuangan hukum selama 25 tahun.
(Baca juga: Pandemi Covid-19 Picu Diskriminasi Anti-China di Australia)
Lebih dari 270.000 perempuan dan 22.000 laki-laki, kebanyakan dari mereka adalah komunitas masyarakat adat Quechua dan berasal dari keluarga berpenghasilan rendah, disterilisasi antara tahun 1996-2001, menurut data resmi Kementerian Kesehatan Peru.
Program pengendalian kelahiran, yang dikenal sebagai Operasi Kontrasepsi Sukarela, disosialisasikan sebagai bagian dari kebijakan anti-kemiskinan yang bertujuan untuk menurunkan tingkat kelahiran di kalangan keluarga miskin.
Pemerintah menyatakan prosedur tersebut dilakukan seizin para pasien.
Namun lebih dari 2.000 perempuan menyatakan mereka dipaksa, dilecehkan, diperas atau ditipu untuk menjalani prosedur tersebut.
Jaksa Peru menuduh Fujimori dan anggota kabinetnya bertanggung jawab dalam pelaksanaan program keluarga berencana massal.
Tim hukum mereka mengatakan sterilisasi ditawarkan kepada perempuan dan laki-laki sebagai pilihan metode pengendalian kelahiran.
Tetapi penyelidikan kongres pada tahun 2002 mengatakan ada bukti kuat bahwa staf medis ditekan untuk mencapai target sterilisasi dan prosedur tersebut dilakukan secara rutin tanpa persetujuan perempuan-perempuan terkait.
Laporan itu mengatakan perempuan adat, banyak dari mereka hanya berbicara bahasa Quechua, menjadi sasaran program secara tidak proporsional, yang mendiskriminasi mereka. Sebagian besar tidak menerima perawatan pasca operasi yang memadai, dan beberapa meninggal akibat masalah kesehatan dan komplikasi yang terkait.
Beberapa kelompok yang mewakili para korban percaya bahwa kebijakan negara itu dilakukan "berdasarkan diskriminasi dan rasisme" dan menyebabkan kematian sedikitnya 40 perempuan karena operasi sterilisasi pengikatan saluran tuba falopi.