Empat anak Mihriban Kader-Ablikim Memtinin dititipkan ke kakek dan nenek mereka. Amnesty mengatakan, yang terjadi kemudian sang nenek dikirim ke kamp reedukasi sementara sang kakek diinterogasi polisi.
"Keluarga kami yang lain tak berani merawat anak-anak kami setelah kejadian yang menimpa orang tua kami," kata Mihriban kepada Amnesty.
"Mereka takut mereka akan dikirim ke kamp (jika berani mengambil anak-anak kami,” terangnya.
Pada November 2019, Mihriban dan Ablikim mendapat izin dari pemerintah Italia untuk mendatangkan anak-anak mereka, namun dalam perjalanan anak-anak ini ditangkap oleh polisi dan ditempatkan di panti asuhan pemerintah, kata Amnesty.
"Sekarang anak-anak kami berada di tangan pemerintah China ... saya tak tahu apakah kami bisa menemui mereka lagi," lanjutnya.
Kesaksian juga didapat dari Omer dan Meryem Faruh, yang menyelamatkan diri ke Turki pada 2016. Dua anak terkecil mereka dititipkan ke kakek-nenek karena tak punya paspor, kata Amnesty.
Kemudian Omer dan Meryem mendapat kabar bahwa orang tua mereka ditangkap dan sejak itu mereka tak pernah tahu nasib dua anak mereka.
Amnesty meminta agar China membuka akses tak terbatas bagi para pemantau HAM, peneliti independen, dan wartawan ke Xinjiang.
Mereka juga mendesak agar anak-anak Uighur yang diambil paksa ini dikembalikan ke pihak keluarga.
"China menerapkan kebijakan yang kejam di Xinjiang yang memisahkan keluarga ... anak-anak dilarang meninggalkan [panti asuhan]. Orang tua menghadapi persekusi dan penangkapan jika mereka pulang dan mengambil anak-anak ini," ujar Alkan Akad, peneliti Amnesty International untuk masalah China.
China membantah telah melakukan pelanggaran HAM terhadap minoritas Muslim Uighur di Xinjiang.
Namun sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat, Kanada, dan Belanda menyatakan China melakukan genosida terhadap warga Uighur.
Legislasi serupa yang diusulkan di Inggris ditolak oleh parlemen.
(Susi Susanti)