Yang paling penting, gambar kepala para perwira utama Belanda sedikit kelewat batas, terlalu besar dibandingkan badan, sedangkan gambar kepala orang Jawa yang sedang berduka, yang menyaksikan penangkapan itu, tampak wajar-wajar saja.
"Ini bukan kesalahan, melainkan suatu pesan: kepala para perwira Belanda itu adalah khas milik pararaksasa," ungkapnya.
Perbedaan pokok, begitu menurut Kraus, terletak pada perspektif yang dipilih oleh masing-masing Pieneman dan Saleh untuk melukis peristiwa itu.
Sementara seniman Belanda itu melukiskan karyanya dari sebelah barat-laut, Saleh, yang sudah kenal gambar Pieneman pada waktu dia di Nederland (1830-1839), mengambil timur-laut sebagai titik tolaknya dan menampilkan dirinya di tengah potret dengan seragam yang khas sampai tiga kali.
Dalam kata-kata Kraus,"Si orang Belanda, Pieneman, menghadirkan angin kencang dari sebelah barat—kebiasaan di Belanda—yang membuat bendera Belanda tampak sangat dinamis,” ujarnya.
Dalam karya Raden Saleh suasananya betul-betul tenang. Semesta menahan napas, tiada daun apalagi bendera yang bergerak. Sesungguhnya, Raden Saleh sama sekali telah ‘melupakan’ bendera triwarna Belanda itu dan deritanya, suatu hari akan—begitulah Saleh layaknya memberitahu kita—membebaskan bangsanya dari cengkeraman kolonialisme (Kraus 2005:278).
Seolah-olah seperti jawaban, alam sendiri akan memamerkan kuasa yang menakutkan sebagai imbangan bagi peristiwa mencekam pada pagi bersejarah di Magelang itu, kota garnisun yang namanya dalam bahasa Jawa kromo inggil berarti “degil” atau “kepala batu” (Gericke dan Roorda 1901, II:521).