KAPAL Van Der Wijck yang tenggelam di laut Jawa merupakan kisah nyata yang terjadi di Kabupaten Lamongan, Perairan Brondong.
Kapal Van der Wijck milik maskapai pelayaran Belanda, Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Namanya diambil dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda Carel Herman Aart van der Wijck (1840-1914), yang berkuasa dari 1893 hingga 1899.
Dalam Report on Commerce, Industry and Agriculture in the Netherlands East Indies (1922: 170) dituliskan, kapal uap ini diluncurkan sebagai kapal penumpang, dibuat tahun 1921 oleh Maatschappij Fijenoord N.V., pabrik galangan kapal di Fyenoord, Rotterdam.
Kapal Van der Wijck dapat mengangkut 60 orang; kelas dua 34 orang, dan geladaknya mampu menampung 999 orang. Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir naik kapal ini ketika dibuang ke Doven Digul, Papua.
Kapal ini mendapat nama panggilan “de meeuw” atau “The Seagull”, karena sosok dan penampilan kapal ini yang tampak sangat anggun dan tenang.
Saat pelayarannya yang terakhir, kapal Van der Wijk berangkat dari Bali ke Semarang, singgah terlebih dahulu di Surabaya.
Rute yang disinggahi kapal Van der Wijck menurut Pedoman Masjarakat (28/04/1937) antara lain: Makassar-Tanjung Perak (Surabaya)-Tanjung Mas (Semarang)-Tanjung Priok (Jakarta)-Palembang. Sebelum karam, kapal ini berlayar dari Makassar dan Buleleng.
Baca juga: Atas Perintah Hitler, Kapal Selam Nazi Jerman Beroperasi di Perairan Indonesia
Menurut Pandji Poestaka, kapal ini memuat 250 orang ketika lepas jangkar dari Surabaya. Beredar kabar, geladak van der Wijk membawa muatan kayu besi. Muatan kayu ini rencananya dipindahkan ke kapal lain setelah tiba di Tanjung Priok dan akan dibawa ke Afrika.
Kapal ini tenggelam di kawasan yang disebut Westgat, selat di antara Pulau Madura dan Surabaya, sekitar 22 mil di sebelah barat laut Surabaya. Kapal Van Der Wijk pada hari selasa tanggal 20 Oktober 1936 tenggelam ketika berlayar di perairan Lamongan, tepatnya 12 mil dari pantai Brondong.
Ketika tenggelam, kapal ini baru beroperasi 15 tahun. Kapal jenis ini biasanya berada dalam bahaya ketika berumur 25 hingga 30 tahun.
Jumlah penumpang pada saat itu adalah 187 warga pribumi dan 39 warga Eropa. Sedangkan jumlah awak kapalnya terdiri dari seorang kapten, 11 perwira, seorang telegrafis, seorang steward, 5 pembantu kapal dan 80 ABK dari pribumi.
Baca juga: Kisah Pertempuran Terbesar di Laut Jawa Tewaskan 2.300 Pelaut dan Laksamana Karel Doorman
Koran De Telegraaf, 22 Oktober 1936, menulis sekitar 42 orang korban yang hilang. Versi lain menyebutkan, jumlah penumpang yang berhasil diselamatkan adalah 153 orang. Sementara ada 70 orang, baik penumpang maupun awak kapal, dilaporkan hilang.
Jumlah yang tidak pasti ini dikarenakan jumlah penumpang kapal tidak sesuai dengan manifes. Ada banyak kuli angkut pribumi yang tidak tercatat, kemungkinan merekalah yang banyak hilang.
Pandji Poestaka edisi 23 Oktober 1936 memberitakan kejadian tenggelamnya kapal ini. Bertindak sebagai nahkoda kapal adalah B.C. Akkerman, yang usianya kala itu 43 tahun, dan sudah berdinas selama 25 tahun dan baru dua minggu bekerja di Van der Wijck.
Delapan pesawat udara jenis Dornier yang bisa mendarat di permukaan air dikirim untuk penyelamatan penumpang. Kapal dan perahu nelayan juga bergerak menyelamatkan korban Van der Wijck.
Sekitar 20 penumpang berhasil dievakuasi dengan pesawat dan dibawa ke Surabaya. Sementara perahu nelayan menyelamatkan puluhan penumpang, baik orang Eropa maupun bumiputera ke daratan.
Untuk.memperingati peristiwa itu, sebuah monumen didirikan daerah kecamatan Brondong-Lamongan. Monumen Van Der Wijk ini berada di halaman kantor Perum Prasana Perikanan Samudra Cabang Brondong, yang berada di belakang gapura menuju Pelabuhan dan Tempat PeIelangan Ikan - Brondong.
Di Monumen Van Der Wijk itu terdapat dua prasasti yang berada di dinding barat dan timur monumen. Prasasti itu terbuat dari pelat besi dan bertuliskan dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia.
Monumen itu dibangun oleh pihak Belanda untuk mengenang kisah tenggelamnya kapal itu di perairan Lamongan. Monumen itu juga dituliskan ucapan terima kasih dari pihak Negara Belanda kepada warga Lamongan yang pada saat musibah terjadi telah memberikan bantuan.
Siapa Carel Herman Aart van der Wijck yang namanya diabadikan untuk kapal Van Der WIjck?
Jonkheer Carel Herman Aart van der Wijck (lahir di Ambon, 29 Maret 1840 – meninggal di Baarn, 8 Juli 1914 pada umur 74 tahun) adalah seorang Gubernur-Jenderal Hindia-Belanda.
Ia diangkat menjadi Gubernur-Jenderal oleh Ratu Emma van Waldeck-Pymont pada tanggal 15 Juni 1893. Ia lalu mulai memerintah antara tanggal 17 Oktober 1893 sampai tanggal 3 Oktober 1899.
Di masa pemerintahannya dilakukan operasi "pengendalian Lombok" (Lombok pacificatie) karena orang Lombok (Sasak) memberontak terhadap orang Bali yang menguasai daerah itu. Belanda membantu Lombok menyerang istana Cakranegara di Ampena.
Setelah kerajaan ini takluk dan istananya dibakar, Belanda mengklaim Lombok sebagai wilayahnya. Dari operasi inilah naskah Negarakretagama diselamatkan dari pembakaran dan dibawa ke Belanda.
Pada tahun 1921, namanya diabadikan sebagai nama kapal mewah yang tenggelam di perairan Jawa pada tahun 1936.
Kisah tenggelnya kapal ini dituangkan Buya Hamka dalam novelnya yang berjudul "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. "
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah sebuah novel yang ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Hamka.
Novel ini mengisahkan persoalan adat yang berlaku di Minangkabau dan perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian.
Novel ini pertama kali ditulis oleh Hamka sebagai cerita bersambung dalam sebuah majalah yang dipimpinnya, Pedoman Masyarakat pada tahun 1938.
Dalam novel ini, Hamka mengkritik beberapa tradisi yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu terutama mengenai kawin paksa.
Diterbitkan sebagai novel pada tahun 1939, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck terus mengalami cetak ulang sampai saat sekarang. Novel ini juga diterbitkan dalam bahasa Melayu sejak tahun 1963 dan telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di Indonesia dan Malaysia.
(Qur'anul Hidayat)