Mengapa Korut Larang Bahasa Gaul, Jeans, dan Film Asing yang Digambarkan Sebagai 'Racun Berbahaya'?

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis
Selasa 08 Juni 2021 07:11 WIB
Ilustrasi keluarga Korut menonton acara Korsel (Foto: BBC)
Share :

  • Mengapa orang-orang masih melakukannya?

"Kami harus mengambil banyak kesempatan untuk menonton drama-drama itu. Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan rasa penasaran kami. Kami ingin tahu apa yang terjadi di dunia luar," kata Geum-hyok.

Bagi Guem-hyok, akhirnya mengetahui kebenaran tentang negaranya mengubah hidupnya.

Dia adalah salah satu dari sedikit warga Korea Utara yang memiliki hak istimewa yang diizinkan untuk belajar di Beijing tempat dia menemukan internet.

"Awalnya, saya tidak percaya [deskripsi Korea Utara]. Saya pikir orang Barat berbohong. Wikipedia berbohong, bagaimana saya bisa percaya itu? Tapi hati dan otak saya terbagi,” ujarnya.

"Jadi saya menonton banyak film dokumenter tentang Korea Utara, membaca banyak surat kabar. Dan kemudian saya menyadari bahwa itu mungkin benar karena apa yang mereka katakan masuk akal,” jelasnya.

"Setelah saya menyadari sebuah peralihan terjadi di otak saya, itu sudah terlambat, saya tak bisa kembali,” ujarnya.

Guem-hyok akhirnya melarikan diri ke Seoul.

Sementara, Mi-so menjalani mimpinya sebagai penasihat mode. Hal pertama yang dia lakukan di negara asalnya yang baru adalah mengunjungi semua tempat yang dia lihat di Stairway to Heaven.

Tapi kisah seperti mereka menjadi lebih langka dari sebelumnya.

Meninggalkan negara itu menjadi hampir tak mungkin dengan perintah "tembak-untuk bunuh" yang berlaku saat ini di perbatasan yang dikontrol ketat.

Di sisi lain, undang-undang baru Kim diperkirakan memiliki efek yang lebih mengerikan.

Choi, yang harus meninggalkan keluarganya di Korea Utara, meyakini bahwa menonton satu atau dua drama tidak akan membalikkan kendali ideologi yang terlah terpatri selama beberapa dekade.

Namun dia berpikir bahwa banyak warga Korea Utara mencurigai propanda negara bukanlah kebenaran.

"Warga Korea Utara memiliki keluhan di hati mereka, tapi mereka tak tahu keluhan mereka ditujukan ke siapa," katanya.

"Itu adalah keluhan tanpa arah. Saya merasa patah hati karena mereka tidak dapat mengerti bahkan ketika saya memberi tahu mereka. Ada kebutuhan bagi seseorang untuk membangunkan mereka, mencerahkan mereka,” tambahnya.

(Susi Susanti)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya