Sempat Koma, Bocah yang Dibanting 27 Kali saat Latihan Judo Meninggal Dunia

Agregasi BBC Indonesia, Jurnalis
Rabu 30 Juni 2021 16:57 WIB
Ilustrasi judo (Foto: File Pic/BBC Indonesia)
Share :

BOCAH laki-laki berusia tujuh tahun di Taiwan, yang dibanting ke lantai sebanyak 27 kali selama latihan judo, akhirnya meninggal dunia setelah koma. Pada bulan April, dia menderita pendarahan otak yang parah setelah mengikuti kelas judo. 

Saat itu, ia dilaporkan dibanting berkali-kali oleh teman sekelasnya dan pelatihnya. Anak tersebut kemudian mengalami koma, dan sejak itu hidupnya ditopang oleh bantuan mesin rumah sakit. Orangtuanya memutuskan untuk mencabut bantuan hidup itu setelah 70 hari, menurut laporan media lokal.

Pelatih anak laki-laki itu, yang berusia akhir 60-an, telah didakwa melakukan serangan fisik yang mengakibatkan cedera serius dan menggunakan anak di bawah umur untuk melakukan kejahatan, menurut situs berita lokal Taipei Times.

Baca Juga:  KBRI Panama City Bantu Repatriasi ABK WNI yang Meninggal

Pelatihnya, yang hanya diidentifikasi bermarga Ho, dibebaskan awal bulan ini dengan jaminan NT$100.000 (sekitar Rp52 juta). Pada hari Selasa pukul 21:00, Rumah Sakit Fengyuan mengumumkan bahwa tekanan darah dan tingkat detak jantung anak itu menurun.

Setelah dokter berbicara dengan keluarganya, mereka setuju untuk menarik bantuan hidup. Di media sosial Taiwan, banyak warganet yang mengatakan, "sekarang tidak ada rasa sakit lagi, adikku".

Sementara yang lain menyerukan tindakan lebih keras untuk diambil terhadap pelatih dan kompensasi untuk diberikan kepada orangtua anak laki-laki itu.

Bagaimana kejadiannya?

Kasus seorang anak laki-laki yang tengah bertahan hidup setelah dibanting ke lantai sebanyak 27 kali saat latihan judo oleh pelatih dan temannya mengejutkan Taiwan sekaligus menyoroti apa yang dikatakan para kritikus sebagai budaya menutup mata terhadap kekerasan pada anak.

Wei Wei * adalah tipikal anak laki-laki berusia tujuh tahun yang tinggal di Taiwan.

Dia adalah penggemar Super Mario, penyuka olahraga, dan pernah memenangkan tempat ketiga dalam perlombaan lari. Sebelumnya pada bulan April, dia meyakinkan keluarganya bahwa dia ingin mencoba latihan judo.

Baca Juga: 28 Pesawat Militer China Satroni Zona Pertahanan Udara Taiwan

Hanya dua minggu setelah latihan, dia terbaring dalam keadaan koma. Kondisinya kemungkinan akan terus berada dalam keadaan vegetatif, atau tak bisa bergerak normal, bahkan jika dia bertahan hidup.

Sebuah video muncul, yang menunjukkan dia dibanting ke atas tikar oleh seorang teman sekelasnya yang lebih tua selama latihan judo. Saat latihan berlanjut, dia terdengar berteriak "kaki saya", "kepala saya" dan "saya tidak menginginkan ini!". Tetapi pelatihnya terus memerintahkan dia untuk berdiri dan menyuruh anak laki-laki yang lebih tua untuk terus membantingnya.

Ketika Wei Wei terlalu lemah untuk bangun, pelatihnya, yang jauh lebih besar darinya, mengangkatnya dan membantingnya beberapa kali. Pada satu titik, anak itu muntah, tetapi "latihan" tidak berhenti.

Secara keseluruhan, kata keluarganya, dia dibanting lebih dari 27 kali. Wei Wei akhirnya pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Dokter mengatakan, bocah laki-laki itu menderita pendarahan otak yang parah. Dia sekarang dalam keadaan koma dan dipasangkan alat-alat yang mendukungnya untuk tetap hidup.

"Saya masih ingat pagi itu ketika saya mengantarnya ke sekolah," kata ibunya.

"Dia berbalik dan berkata, 'Mama selamat tinggal'. Di malam hari, dia sudah menjadi seperti ini."

Otoritas dan penyalahgunaan

Pelatih judo, yang berusia akhir 60-an dan diidentifikasi hanya dengan nama belakang Ho, telah ditahan untuk penyelidikan atas dugaan kelalaian yang menyebabkan cedera serius. Dia membantah melakukan kesalahan, menurut Pengadilan Distrik Taichung.

Jaksa penuntut distrik awalnya membebaskannya setelah diinterogasi, menerima penjelasannya bahwa apa yang terjadi pada Wei Wei adalah bagian dari "pelatihan normal".

Tetapi setelah keluarga anak itu mengadakan konferensi pers, pengadilan mengatakan ada bukti untuk mencurigai bahwa pelatih itu mungkin telah melakukan kejahatan serius dan ada risiko kerja sama dengan para saksi.

Pengadilan mengabulkan permintaan jaksa penuntut untuk menempatkannya dalam penahanan incommunicado - yakni seseorang tidak diperbolehkan berhubungan dengan siapa pun kecuali dengan pengacaranya.

Para ahli mengatakan, bahwa kasus Wei Wei telah menimbulkan pertanyaan mengganggu yang menyoroti masalah mendasar dalam sikap Taiwan terhadap anak-anak dan pembelajaran.

Pertanyaan utama adalah: mengapa tidak ada yang menghentikan pelatih itu?

Ada orang dewasa di studio judo yang menyaksikan apa yang terjadi, termasuk paman Wei Wei, yang dilaporkan merekam video untuk menunjukkan kepada ibu bocah laki-laki itu bahwa judo mungkin tidak cocok untuknya.

"Di Timur, adalah umum untuk mengharapkan anak-anak bertahan menghadapi kesulitan dan mematuhi otoritas," kata Joanna Feng, Direktur Eksekutif Yayasan Pendidikan Humanistik, sebuah LSM yang telah melobi selama bertahun-tahun untuk mengakhiri hukuman fisik dan pelecehan anak.

"Dalam budaya kami, guru diperlakukan sebagai orang yang sangat hebat."

Sikap ketaatan dan penghormatan kepada guru ini begitu dalam sehingga mungkin menjelaskan mengapa tidak ada orang dewasa - termasuk paman anak itu- yang hadir mempertanyakan otoritas pelatih, meskipun anak itu berteriak.

Ibu Wei Wei kemudian mengatakan kepada wartawan bahwa pamannya merasa "sangat tidak enak atas apa yang terjadi".

"Mereka mungkin berpikir karena pelatih yang meminta, saya seharusnya tidak menentang persyaratan pelatih," kata Feng. "Kami telah melihat banyak contoh reaksi dan pola pikir ini; bahkan dalam kasus yang serius."

Dalam satu kejadian misalnya, orangtua siswa yang difilmkan ditendang perutnya oleh guru opera beberapa kali, tidak hanya membela pelatihnya, tetapi juga meminta maaf karena telah membuat dia kesusahan.

Dalam kasus lain, tidak ada pengaduan yang diajukan terhadap pelatih senam yang direkam menampar salah satu siswanya dan menarik rambut murid lainnya,yang menyebabkan dia jatuh ke belakang saat dalam perjalanan kompetisi di Thailand.

Hukuman fisik di sekolah

Wang Yan-shu, Direktur Asosiasi Promosi Kerukunan Kampus, sebuah kelompok orangtua yang bekerja untuk menghentikan hukuman fisik, mengatakan bahwa sikap diam ini banyak hubungannya dengan budaya Taiwan.

"Budaya kami membuat banyak orang tidak sepenuhnya menghormati hak-hak anak. Sekarang lebih baik, tetapi Taiwan benar-benar tertinggal dari negara-negara maju lainnya dalam aspek hak asasi manusia ini," kata Wang.

Pada 2019, Kementerian Pendidikan mencatat 625 siswa telah menjadi sasaran hukuman fisik di sekolah. Meskipun memukul siswa telah dilarang di Taiwan sejak 2007, dan hukuman fisik terus menurun, praktik tersebut masih ada, dan sikap yang menoleransi tetap berlaku.

 "Jika orang dewasa melakukan itu satu sama lain, itu pasti akan menjadi masalah. Bagaimana kita bisa melakukan itu pada anak-anak?" dia berkata. "Ini menunjukkan kami masih menganggap hak anak tidak sepenting hak orang dewasa."

Hank Hsu, yang putra remajanya diduga dipukuli dan dilecehkan secara verbal oleh gurunya hampir setiap hari selama setahun, mengatakan kasus Wei Wei telah membawa kembali kenangan menyakitkan dari tahun 2017, tahun ia dan istrinya mengetahui tentang pelecehan yang dialami putra mereka.

"Dia menarik anak saya keluar dari kelas dan memukulnya dengan pipa atau tongkat atau menendangnya dengan lutut," kata Hsu.

"Dia juga sering menyuruh anak saya berlutut di luar kantor guru. Kepala sekolah dan guru lain melihat ini, tapi tidak melakukan apa-apa."

Kementerian Pendidikan mengatakan kepada BBC bahwa mereka menyarankan sekolah dan guru untuk tidak menggunakan hukuman fisik. Guru yang menyebabkan cedera fisik atau mental dapat diskors antara satu hingga empat tahun, diberhentikan, atau dilarang dipekerjakan sebagai guru seumur hidup.

Pada kenyataannya, bagaimana pun, kebanyakan guru, hanya diberikan skors atau skors singkat - hanya sedikit yang diberhentikan. Guru dari putra Tuan Hsu diberi hukuman dan denda ringan.

Budaya pelecehan dimulai di rumah

Sistem peradilan juga cenderung berpihak pada guru, kata Hsu. Jaksa dalam kasus putranya tidak menuntut guru tersebut meski sudah menyebabkan cedera, dengan alasan keluarga tersebut harus membuktikan bahwa luka-lukanya terkait dengan kekerasan tersebut.

Hsu menambahkan, bahwa beberapa orangtua di sekolah kemudian menyalahkannya, mengatakan hal-hal seperti: "Kamu tidak mengajari anakmu dengan baik. Mengapa dia tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya?"

Faktanya, tidak jarang di seluruh Asia orang tua mendisiplin anak mereka dengan cara yang kasar. Di Taiwan, beberapa orang tua memukuli anaknya karena mendapat nilai ujian yang rendah.

Tahun lalu, Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Taiwan menerima laporan 12.610 kasus kekerasan terhadap anak, yang sebagian besar terjadi di rumah.

Namun, banyak kasus tidak dilaporkan karena keyakinan bahwa anak-anak harus didisiplinkan secara ketat agar mereka belajar. "Orang Taiwan masih tidak terlalu mementingkan masalah ini dan bahkan tetap diam," kata Wang.

Kementerian Pendidikan mengatakan pihaknya kini telah meminta pemerintah daerah dan asosiasi olahraga untuk meningkatkan pengawasan terhadap kelompok olahraga dan meningkatkan kesadaran tentang keselamatan saat olahraga.

Tetapi para kritikus mengatakan kasus Wei Wei telah mengungkap celah yang sudah lama ada dalam sistem - pelatih itu diizinkan oleh asosiasi judo lokal untuk mengajar meskipun dia tidak memiliki izin dan studio yang dijalankan oleh asosiasi tersebut tidak diawasi secara memadai oleh pemerintah.

Selain itu, publik tidak diajarkan untuk mengenali bahwa semua bentuk pelecehan tidak dapat diterima dan mereka harusnya melakukan campur tangan ketika mereka melihat perilaku kasar terhadap anak-anak.

"Dalam menghadapi kejadian ini, pelaku harus bertanggung jawab, orang yang mengetahui hal itu harus bertanggung jawab, dan sistem harus bertanggung jawab," kata Yayasan Pendidikan Humanistik dalam sebuah pernyataan.

"Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memberi tahu rakyat bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk melindungi anak-anak!"

Mereka menambahkan bahwa tidak seharusnya seorang anak terluka parah untuk membawa perubahan. "Kita perlu mendidik orang dewasa untuk benar-benar menghormati dan melindungi anak-anak," kata Feng. "Ini tanggung jawab pemerintah. Pemerintah dan masyarakat perlu mengevaluasi kembali diri mereka sendiri."

Kami menunggunya bangun

Sebelumnya, keluarga Wei Wei mengatakan tidak mengerti bagaimana pelatih bisa memperlakukan anak mereka seperti ini.

Mereka mengatakan pelatih itu awalnya memberi tahu paman Wei Wei bahwa dia berpura-pura tidak sadarkan diri dan kemudian memberi tahu ayahnya bahwa Wei Wei dengan sengaja jatuh keras di atas tikar.

Mereka bertekad untuk "mencari keadilan".

Tak lama sesudah anak itu koma, orangtuanya menghabiskan setiap hari di samping ranjang rumah sakitnya. Ayahnya menunjukkan foto Wei Wei yang berbaring di samping boneka Mario, karakter favoritnya, yang dia belikan untuknya.

 "Ketika saya mengunjunginya di rumah sakit, saya berbicara dengannya," kata ayahnya, Tuan Huang.

"Saya ingin Wei Wei mendengar bahwa kami menunggunya bangun."

Namun, pada Selasa 29 Juni malam, harapan itu sirna, seiring keputusan mereka untuk melepaskan bantuan hidup pada Wei Wei.

(Arief Setyadi )

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya