Sebab, seluruh aset berupa rumah dan perabotan yang mereka miliki terpaksa dijual untuk menutupi seluruh utang keluarga.
Selama 3 tahun tinggal di hutan inilah, keluarga Ngadiono dapat menabung sapi dan juga kambing yang digunakan untuk bekal kedua anaknya yang saat ini masih bersekolah.
Kini, sapi milik Ngadiono berjumlah 1 ekor milik pribadi dan 2 ekor milik saudara yang digaduhkan (diminta untuk dirawat ). Karena hal tersebutlah, Ngadiono dan Sumini memutuskan untuk tinggal di kandang sapi milik mereka.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari - hari, satu keluarga ini hanya mengandalkan buruh tani dengan upah yang terbilang minim. Jika ada orang yang meminta bantuan pertanian, dalam satu hari Ngadiono dan Sumini bisa memperoleh upah Rp30 - 50 ribu. Itu pun tidak setiap hari ada warga yang memerlukan jasa mereka.
Tidak ada barang mewah di tempat ini, perabotan yang ada hanyalah piring dan gelas untuk keperluan sehari - hari, satu buah ember, dan juga tikar yang digunakan untuk tempat bersantai serta menerima tamu.
Untuk menekan beban keluarga, kedua anaknya yang kini masih bersekolah dititipkan ke tempat mbahnya agar mereka bisa fokus dalam pendidikan. Sedangkan anaknya yang lain hanya tamatan SMP dan kini bekerja sebagai tukang parkir di salah satu pasar di Kecamatan Karangmojo.
Tinggal di tempat yang jauh dari kata layak ini, keluarga tersebut hanya bisa pasrah. Mereka membiasakan diri untuk mencium bau kotoran sapi karena memang lokasi mereka yang jadi satu dengan kandang yang ada.
Mereka tak mengharapkan banyak selain meminta diberi kesehatan agar tetap dapat mencari kebutuhan sehari - hari agar kedua putra mereka yang masih bersekolah bisa mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.
(Arief Setyadi )