Muslim Uighur Alami Diskriminasi saat Ramadan, Masyarakat Dunia Diminta Bertindak

Aulia Oktavia Rengganis, Jurnalis
Rabu 13 April 2022 17:23 WIB
Muslim Uighur/ AFP
Share :

KEPEMIMPINAN Pemerintah Turkistan Timur di Pengasingan yang berada di Washintong DC Amerika Serikat, mengungkapkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi kepada muslim Uighur di Xinjiang China, selama Bulan Suci Ramadan.

(Baca juga: 5 Fakta Muslim Uighur, Tempat Lahirnya Wanita Tercantik di Dunia)

Perdana Menteri Pemerintah Turkistan Timur di Pengasingan, Salih Hudayar mengatakan pejabat Partai Komunis diduga memaksa muslim Uighur minum yang mengandung alcokol dan makanan haram lainnya selama Bulan Ramadan.

“Ramadan pada dasarnya telah dilarang untuk mayoritas Muslim di Turkistan Timur,” kata Hudayar dilansir breitbart.

(Baca juga: Tolak Aksi Mesut Ozil ke Muslim Uighur, Arsenal tapi Beri Dukungan ke Ukraina)

Namun kata dia, sejak peluncuran resmi kampanye genosida dan penahanan massal pada tahun 2014, orang Uighur dan Muslim Turki lainnya belum dapat mengambil bagian dalam Ramadan.

Sebelumnya, pihak berwenang China di Xinjiang, diketahui mulai membatasi aktivitas dan jumlah Muslim Uighur dalam menjalani ibadah puasa di Bulan Suci Ramadan 2022.

Dilansir dari RFA (Radio Free Asia), pembatasan ini telah menuai kritik keras dari kelompok-kelompok hak asasi internasional dan masyarakat dunia, yang melihat tindakan otoritas Tiongkok sebagai upaya terbaru untuk mengurangi budaya Muslim Uighur di wilayah tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (Centris) meminta masyarakat dunia khususnya Indonesia untuk mendesak China agar segera menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM khususnya pada kegiatan keagamaan di Xinjiang China.

Peneliti senior Centris, AB Solissa menyebut cara-cara atau bentuk perlakuan apapun yang menyebabkan terganggu bahkan terhentinya kegiatan keagamaan seseorang, adalah pelanggaran hukum dan HAM.

“Di Indonesia sendiri, segala tindakan-tindakan yang bermaksud menghalangi kegiatan beribadah merupakan pelanggaran konstitusi, hukum, dan peraturan perundang-undangan, serta bertentangan dengan prinsip-prinsip Pancasila dan hak asasi manusia,” kata AB Solissa Rabu (13/4/2022).

“Kami rasa seluruh negara kecuali China memiliki pemahaman yang sama dengan Indonesia,” lanjutnya.

Kata dia, Turkistan Timur adalah rumah bagi sebagian besar populasi etnis Uighur di dunia, serta persentase yang signifikan dari kelompok mayoritas Muslim lainnya seperti orang Kazakh dan Kirgistan. Namun China telah mengendalikan Turkistan Timur secara resmi sebagai “Daerah Otonomi Xinjiang Uyghur,” sejak setelah Perang Dunia II.

Partai Komunis yang berkuasa di Tiongkok, disinyalir telah menganggap puasa selama Bulan Suci Ramadan sebagai “tanda ekstremisme”. Pandangan keliru dan dibuat-buat ini, telah menjadi kebijakan China selama bertahun-tahun yang ditetapkan ke warga negara khususnya etnis Muslim Uighur.

Tercatat awal tahun 2012, pemerintah China mulai melarang pegawai negeri sipil, pegawai pemerintah (termasuk mereka yang telah pensiun) untuk menjalankan ibadah puasa di Bulan Ramadan dan kegiatan keagamaan lainnya.

Dalam beberapa tahun terakhir banyak orang Uighur yang telah dikirim ke kamp konsentrasi, hanya karena mereka sebelumnya terlibat dalam apa yang disebut 'kegiatan keagamaan ilegal' seperti soalat dan puasa selama Ramadan.

“Informasi yang kami terima, anak-anak disebut tidak diperbolehkan puasa, di sekolah mereka dipaksa makan dan minum. Di jalanan, pejabat pemerintah China dan aparat keamanan bisa memaksa warga Uighur untuk makan atau minum untuk membuktikan bahwa mereka tidak berpuasa,” ungkap Solissa.

Bukti luas yang didokumentasikan oleh Amerika, kelompok hak asasi manusia, dan pendukung Uighur, menunjukkan bahwa China saat ini diduga terlibat dalam genosida terhadap muslim Uighur dan etnis minoritas lainnya, yang bukan anggota kelompok etnis Han yang mendominasi China.

“Kami tekankan dalam konteks hak asasi manusia, jaminan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terdapat di dalam Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. China ga boleh larang orang beribadah,” tutur AB Solissa.

“Jika laporan RFA itu benar, China artinya telah melanggar Pasal 18 yang mengatur hak atas kebebasan beragama yakni hak untuk pindah agama dan hak memanifestasikan agama di dalam hal pengajaran, praktik, beribadah dan melaksanakan ibadah,” pungkas AB Solissa.

(Fahmi Firdaus )

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya