Namun, Rindri juga tidak lupa untuk mengingatkan putrinya agar selalu melapor jika melihat ada hal-hal yang mencurigakan. Untungnya, pihak sekolah memiliki aplikasi bernama Speak Up yang memudahkan anggota komunitas, termasuk siswa, orang tua, dan anggota komunitas untuk memberikan laporan berupa foto atau video, tanpa perlu mengungkap nama.
“Jadi sebenarnya sekolah sudah melakukan preventive (pencegahan) Jadi saya ingin anak saya itu merasa aman juga. Tapi di lain pihak saya waswas juga,” tambahnya.
Rindri sempat membahas tentang insiden penembakan massal ini dengan putrinya, sambil mengatakan bahwa “hal ini bisa terjadi kapan saja dan di mana saja.”
“Saya tanya tentang kejadian ini. Bagaimana perasaannya? Dia bilang, dia merasa sedih, karena semua korbannya adalah seumuran dengan dia,” ujarnya.
Rindri juga berharap agar pemerintah akan melakukan sesuatu, termasuk memperketat pemeriksaan latar belakang pembeli senjata dan adanya pembatasan umur. Seperti diketahui, penembak di sekolah Robb di Texas kemarin baru saja berulang tahun ke-18 pada 16 Mei lalu. Biro Alkohol, Tembakau, Senjata Api dan Bahan Peledak di AS menyebut bahwa tersangka lalu membeli senjata api pada 17 Mei dan 20 Mei.
“Dari kejadian yang kemarin ini, anak usia 18 tahun bisa membeli senjata. Menurut saya, umur 18 tahun itu belum saatnya,” ujarnya.
Kesedihan yang sama ikut dirasakan Melissa Anggiarti yang tinggal di negara bagian Michigan, AS. Ia merasa berat untuk melepas putrinya yang baru berusia tiga tahun pergi ke sekolah keesokan harinya.