Laporan kunjungan yang telah lama ditunggu-tunggu ini muncul dengan latar belakang sejumlah ketidaksepakatan yang dipendam oleh AS terhadap Beijing dan Riyadh, yang membuat Washington kecewa hanya memperkuat hubungan dalam beberapa tahun terakhir.
AS dan Arab Saudi masih terlibat dalam pertikaian panas mengenai produksi minyak. Ketegangan ini memuncak pada Oktober lalu dalam retorika yang kuat dan saling tuduh ketika kartel minyak pimpinan Saudi OPEC+ memangkas produksi sebesar dua juta barel per hari dalam upaya untuk “menstabilkan” harga. Keputusan itu diambil meskipun kampanye keras AS menentangnya.
Sebagai sekutu kuat AS selama delapan dekade, Arab Saudi menjadi getir atas apa yang dirasakannya sebagai kehadiran keamanan AS yang memudar di wilayah tersebut, terutama di tengah meningkatnya ancaman dari Iran dan proksi bersenjata Yamannya.
Raksasa ekonomi di timur, China telah berselisih dengan AS atas Taiwan, yang telah berulang kali dijanjikan oleh Presiden AS Joe Biden untuk dilindungi jika China menyerang. Topik pelik itu telah memperburuk hubungan genting antara Washington dan Beijing, yang sudah bersaing untuk mendapatkan pengaruh di Timur Tengah yang bergejolak.
Ketika sekutu Amerika di Teluk Arab menuduh Washington tertinggal dalam jaminan keamanannya di kawasan itu, China telah memperkuat hubungannya dengan monarki Teluk, serta dengan musuh AS, Iran dan Rusia.