MONTREAL - Lebih dari 190 negara telah mengadopsi kesepakatan menyeluruh untuk melindungi alam pada konferensi keanekaragaman hayati Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Montreal, Kanada.
Palu diketok tanda sah pada dini hari Senin (19/12/2022) dengan kesepakatan yang mencakup 23 target yang ditujukan untuk menghentikan krisis keanekaragaman hayati. Termasuk janji untuk melindungi 30% daratan dan lautan pada 2030. Sebelumnya hanya 17% daratan dan 10% lautan yang saat ini dianggap dilindungi.
BACA JUGA: 3 Negara yang Dikenal dengan Kekayaan Biodiversitasnya, Indonesia Salah Satunya
Setelah negosiasi selama dua minggu — dengan ketegangan tentang bagaimana membiayai konservasi global terbukti menjadi masalah khusus — kerangka kerja keanekaragaman hayati global Kunming-Montreal akhirnya diadopsi sekitar pukul 03.30 waktu setempat pada Senin (19/12/2022).
Selain ikrar untuk melindungi hampir sepertiga daratan, air tawar, dan laut pada tahun 2030, kerangka tersebut juga mencakup kesepakatan untuk mereformasi subsidi senilai USD500 miliar (Rp7.819 triliun) yang berbahaya bagi alam, dan untuk meningkatkan pembiayaan keanekaragaman hayati bagi negara-negara berkembang.
Dikutip CNN, para juru kampanye memujinya sebagai "tonggak utama" untuk melestarikan ekosistem yang kompleks dan rapuh yang menjadi sandaran setiap orang.
“Perjanjian tersebut merupakan tonggak utama untuk konservasi alam kita, dan keanekaragaman hayati tidak pernah setinggi ini dalam agenda politik dan bisnis,” kata Marco Lambertini, Direktur Jenderal WWF International.
“Target '30x30' menandai komitmen konservasi daratan dan lautan terbesar dalam sejarah. Ini akan memiliki dampak positif yang besar bagi satwa liar, untuk mengatasi perubahan iklim, dan untuk mengamankan layanan yang diberikan alam kepada manusia, termasuk air bersih dan penyerbukan tanaman,” terang Brian O'Donnell, Direktur Kampanye untuk Alam.
Kerangka tersebut juga mencakup bahasa untuk melindungi masyarakat adat, yang memiliki peran sangat besar dalam melindungi keanekaragaman hayati dunia tetapi sering diabaikan dan, dalam beberapa kasus, bahkan dipaksa keluar dari tanah atas nama konservasi.
“Ini memiliki potensi untuk mengantarkan paradigma baru untuk konservasi, di mana hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal ditegakkan dan di mana mereka diakui atas kepemimpinan yang telah mereka berikan,” lanjutnya.
Sementara banyak yang menyambut baik kesepakatan tersebut, ada peringatan bahwa bukti keberhasilannya terletak pada bagaimana kesepakatan tersebut diberlakukan.
Beberapa negara terlihat tidak senang dan mengkritik perjanjian tersebut karena tidak berjalan cukup jauh. Republik Demokratik Kongo (DRC) mengatakan tidak dapat mendukung kesepakatan tersebut dan mengeluhkan bahwa kesepakatan tersebut dilakukan secara terburu-buru tanpa mengikuti proses yang semestinya.
“Ini dapat dirusak oleh implementasi yang lambat dan kegagalan memobilisasi sumber daya yang dijanjikan,” kata Lambertini.
Perjanjian tersebut juga telah dikritik karena kurangnya janji yang dapat diukur untuk mengurangi produksi dan konsumsi, yang merupakan pendorong utama hilangnya keanekaragaman hayati.
Perjanjian tersebut juga diketahui tidak mengikat secara hukum. “Negara-negara telah menyetujui kerangka pemantauan untuk mengevaluasi kemajuan tetapi tidak ada komitmen yang mengikat yang membuat seluruh mekanisme terlihat lemah,” kata Imma Oliveras Menor, peneliti senior di Institut Perubahan Lingkungan, Universitas Oxford kepada Science Media Center di London.
Kendati demikian, banyak yang masih tetap optimis dengan hati-hati. “Perjanjian Kunming-Montreal yang diadopsi hari ini memberi alam kesempatan berjuang untuk pemulihan di dunia yang saat ini terbagi oleh geopolitik dan ketidaksetaraan,” kata Lin Li, direktur senior kebijakan dan advokasi global di WWF International.
Adapun KTT keanekaragaman hayati berikutnya akan berlangsung pada 2024 dan diharapkan negara-negara memperkuat komitmen keuangan untuk menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati.
Sebagai informasi, jalan menuju kesepakatan ini sudah lama dan penuh dengan penundaan. Seharusnya kesepakan ini dilakukan di Kunming, China, tetapi kesulitan yang ditimbulkan oleh kebijakan nol-Covid di negara itu membuat hal itu tidak mungkin dilaukan.
Konferensi dipindahkan ke Kanada di bawah kepemimpinan bersama Kanada dan China. Harapan tinggi terlihat untuk konferensi tersebut, dengan beberapa orang menyebutnya sebagai “momen Paris untuk keanekaragaman hayati” – merujuk pada kesepakatan iklim Paris pada 2015.
Sejarah target keanekaragaman hayati juga diketahui terpecah-belah. Dunia gagal memenuhi satu pun dari 20 target keanekaragaman hayati Aichi yang ditetapkan lebih dari satu dekade lalu di Jepang. Beberapa negara berkembang telah menyatakan kekecewaan atas tingkat pendanaan yang dijanjikan dalam kesepakatan akhir.
Seperti diketahui, alam menurun pada tingkat yang mengkhawatirkan. Pada 2019, sebuah laporan penting dari panel pakar alam PBB menemukan bahwa hingga 1 juta spesies darat dan laut menghadapi kepunahan karena ulah manusia. Beberapa ilmuwan mengatakan dunia sedang memasuki kepunahan massal keenam, didorong oleh tindakan manusia termasuk penggundulan hutan, pembakaran bahan bakar fosil dan pencemaran sungai dan lautan.
(Susi Susanti)