4. Ketegangan di Semenanjung Korea
Sementara itu, gejolak terus berkembang di semenanjung Korea.
Untuk setiap “provokasi” Korea Utara, Korea Selatan –dan terkadang Amerika Serikat—membalasnya.
Itu dimulai pada Mei 2022, dengan terpilihnya presiden baru Korea Selatan, yang berjanji akan lebih keras terhadap Korea Utara.
Presiden Yoon Suk-yeol yakin bahwa cara terbaik menghentikan Korea Utara adalah dengan menanggapinya dengan kekuatan militer.
Dia memulai kembali latihan militer bersama berskala besar dengan AS, yang diprotes Korea Utara dengan meluncurkan lebih banyak rudal.
Ini memicu siklus aksi militer balas-balasan, di mana kedua belah pihak menerbangkan pesawat tempur di dekat perbatasan mereka, dan menembakkan artileri ke laut.
Pekan lalu, situasi memanas ketika Korea Utara tiba-tiba menerbangkan lima drone ke wilayah udara Korea Selatan. Korea Selatan gagal menembak jatuh drone itu, memperlihatkan kelemahan pertahanannya dan memicu kekhawatiran warga sipil Korea Selatan, yang biasanya tidak peduli dengan aktivitas Korea Utara.
Presiden bersumpah Korea Selatan akan membalas dan menghukum Korea Utara untuk setiap provokasi yang dilancarkan.
Chad O’Carrol, CEO Korea Risk Group, sebuah layanan analisis yang memantau Korea Utara, memperkirakan bahwa pada 2023, kemungkinan besar akan terjadi konfrontasi langsung antara Korea Utara dan Selatan, yang bahkan dapat mengakibatkan kematian.
"Respons Utara atau Selatan dapat meningkat ke titik di mana kita melihat baku tembak yang sebenarnya, disengaja atau tidak," ujarnya.
Satu kesalahan atau salah perhitungan dan situasinya bisa berputar.