Mansur juga mengeluhkan lalu lintas. “Tahun lalu masih bisa ditolerir, tapi beberapa bulan terakhir ini semakin padat,” katanya. Kemudian dia menyesali kebebasan yang hilang ketika Taliban memenangkan perang.
“Dalam grup, kami memiliki kebebasan yang besar tentang ke mana harus pergi, ke mana harus tinggal, dan apakah akan berpartisipasi dalam perang,” katanya.
“Namun, hari ini, Anda harus pergi ke kantor sebelum jam 8 pagi dan tinggal sana sampai jam 4 sore. Kalau tidak masuk, dianggap tidak masuk, dan (upah) hari itu dipotong dari gaji. Kami sekarang sudah terbiasa dengan itu, tetapi sangat sulit dalam dua atau tiga bulan pertama.”
Seorang pria bernama Kamran juga mengeluhkan kehidupan kantor. “Saya agak senang dengan pekerjaan saya tetapi sering melewatkan waktu jihad. Selama itu, setiap menit hidup kami dihitung sebagai ibadah,” ujarnya.
“Dulu kami hidup di antara orang-orang. Banyak dari kita sekarang mengurung diri di kantor dan istana kita, meninggalkan kehidupan sederhana itu. Saya sangat prihatin dengan mujahidin kita. Ujian dan tantangan yang sesungguhnya bukanlah selama jihad. Sebaliknya, sekarang. Pada saat itu, itu sederhana, tetapi sekarang semuanya jauh lebih rumit. Kita diuji oleh mobil, jabatan, kekayaan, dan wanita. Banyak mujahidin kita, amit-amit, telah jatuh ke dalam perangkap yang tampaknya manis, tetapi sebenarnya pahit ini.”