Gerakan itu biasanya menempel dan sekaligus seolah menantang para penonton yang sebagian besar kaum pria.
Sementara sebagian besar penikmat tarian taledek adalah golongan priyayi, meski ada juga masyarakat biasa, yakni terutama yang memiliki simpanan uang lebih.
Kesenangan menikmati tarian taledek atau ronggeng di kalangan priyayi dinilai sebagai bentuk gaya hidup yang hedonis.
Hal umum yang menguatkan sudut pandang negatif kolonial Belanda terhadap penari taledek atau ronggeng adalah pemandangan yang terjadi di atas panggung.
Utamanya saat laki-laki tengah melakukan aksi saweran. Dengan gerakan liar diiringi tawa genit, lembaran uang sawer diselipkan ke dalam kemben atau kain penutup dada si penari taledek.
“Saat itu si pria bisa memegang bagian dada perempuan (penari taledek) dengan jari-jarinya”.