JAKARTA - Pada musim panas, matahari tidak hilang dari langit Tromso selama dua bulan penuh. Bagaimana umat Islam di kota itu menentukan waktu salat?
Menjelang tengah malam 27 Juli lalu, pengunjung memadati Gunung Storsteinen di kota Tromso, Norwegia. Penduduk lokal kota non-Rusia terbesar di utara Lingkaran Arktik itu biasa menyebutnya dengan istilah 'gunung'.
BACA JUGA:
Beberapa pendaki tengah malam yang lebih berani menapaki jalur yang melalui hutan di sepanjang jalurnya. Sementara itu, pendaki yang paling ambisius memanjat hampir secara vertikal ke puncak.
Saya mencoba, tetapi saya memakai sepatu yang salah. Yang lainnya menuju ke puncak menumpang fjellheisen, istilah lokal untuk trem yang populer.
BACA JUGA:
Di puncak, kerumunan orang berkumpul dengan bersemangat menunggu lenyapnya matahari, yang tidak hilang dari langit Tromso selama dua bulan terakhir.
Di depan mata kami, matahari terbenam dengan anggun terbalut warna merah muda Arktik, ungu, dan oranye.
Satu jam kemudian, dia muncul kembali, memulai pemendekan hari di Tromso secara bertahap, sampai mulainya interval pertengahan musim dingin, di saat sama sekali tidak ada sinar matahari.
Anehnya, tidak banyak umat Muslim di Tromso yang memperhatikan fenomena itu. Setiap kali saya menyebut 'matahari yang akan terbenam' kepada mereka, mereka menjawab dengan mengangkat bahu.
Di balik ketidakpedulian ini, terdapat kisah menarik tentang perpindahan budaya, nostalgia, penyesuaian, dan perdebatan tanpa akhir tentang basa-basi astronomi surya.
Tidak ada ketaatan ritual harian agama besar yang terikat lebih dekat dengan pergerakan matahari daripada Islam.
"Ketika anak-anak, saya menyaksikan matahari terbit dan terbenam dan saya mendengarkan azan lima kali sehari," kata Hussein Abdi Yusuf dilansir dari BBC, Senin (27/3/2023).
Yusuf adalah imam di Al Rahma, satu dari dua masjid di Tromso. Masjid ini terletak di sebuah rumah hijau sederhana yang disewa jemaah setempat sejak tahun 1991.