BERBAGAI gerakan yang berseberangan dengan pemerintah pusat terus bermunculan ketika Republik Indonesia belum lama lahir. Salah satunya gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Semesta (PRRI/Permesta).
Untungnya, cara diplomasi ampuh dalam menyelesaikan konflik tersebut. Dari hubungan dua sahabat, Frits Johanes (Broer) Tumbelaka dan Letkol D.J. Somba, penyelesaian gerakan Permesta pun bisa diwujudkan pada Peristiwa Malenos, 4 April 54 tahun lalu (1961).
Gerakan Permesta lahir (2 Maret 1957) akibat ketidakpuasan dan klimaks pertentangan dengan pemerintah pusat, dalam hal ini Kabinet (Perdana Menteri) Djuanda.
BACA JUGA:
Tapi komplotan gerakan yang digawangi Somba, Alexander Evert Kawilarang serta Ventje Sumual itu akhirnya pecah pada Februari 1961. Alasannya, Permesta tak ingin mendukung berdirinya Republik Persatuan Indonesia (RPI).
Tidak hanya ingin menggabungkan kekuatan PRRI/Permesta dengan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan Kahar Mudzakar di Makassar, tapi juga ingin memisahkan diri dari RI. Hal itu yang tak disenangi para petinggi Permesta seperti Somba dan Kawilarang, kecuali Sumual.
Di sisi lain dikutip dari buku “Permesta dalam Romantika, Kemelut dan Misteri”, Broer Tumbelaka, Gubernur Sulawesi Utara yang pertama, membuka pertemuan pada medio Maret 1961 dan sejak saat itu, terus membuka “pintu belakang” demi menyelesaikan konflik pemerintah dengan Permesta.
Mengenal Sayidiman Suryohadiprojo, Jenderal Penumpas Gerakan PKI dan Permesta
Pertemuan yang tepatnya berlangsung di Desa Lahendong itu, sedianya tak hanya dihadiri Somba dan Tumbelaka, tapi juga dihadiri sejumlah warga desa dan masing-masing pasukan. Bahkan, pasukan Permesta dan TNI saling berangkulan – tanda rindu persatuan.
Keberhasilan Tumbelaka menjalin kontak dengan Somba, tak lepas dari hubungan persahabatan mereka yang belum putus, semenjak masih berdinas dalam tubuh TNI di Surabaya.
Dari situlah, singkat kata penyelesaian bisa terjadi pada 4 April 1961 di Malenos, Minahasa, di mana Permesta diwakili Somba dan pemerintah diwakili Pangdam XIII Merdeka, Kolonel Sunandar Priyosudarmo.
Somba juga mengajak Kawilarang untuk berdamai lewat pesan kawat. Empat hari kemudian, Kawilarang datang dengan berjalan kaki.