LIBREVILLE – Afrika telah mengalami tujuh kudeta sejak Agustus 2020, sebelum kudeta terjadi pada Rabu (30/8/2023) di Gabon. Para perwira militer senior di Gabon menyatakan bahwa mereka telah mengambil kekuasaan atau kudeta pada Rabu, (30/8/2023), beberapa menit setelah Presiden Ali Bongo dinyatakan sebagai pemenang dalam sebuah pemilihan umum (pemilu) yang kontroversial.
Muncul dalam saluran televisi nasional Gabon 24, para perwira mengumumkan penutupan perbatasan dan membubarkan lembaga-lembaga negara termasuk Senat, Majelis Nasional, dan Mahkamah Konstitusi. Mereka juga mengatakan bahwa Bongo berada dalam tahanan rumah.
Secara umum, Gabon dianggap lebih stabil dibandingkan negara-negara, seperti Niger, Burkina Fuso, Mali, Guinea, Chad, dan Sudan, yang dalam tiga tahun terakhir mengalami kerusuhan. Namun, Gabon tampaknya akan bergabung dengan daftar negara-negara yang mengalami kudeta.
Berikut ini adalah tujuh kudeta militer yang terjadi di Afrika dalam tiga tahun terakhir.
1. Niger
Para tentara pemberontak di Niger mengumunkan bahwa mereka telah menggulingkan presiden negara yang bersekutu dengan Barat, Mohamed Bazoum, pada Rabu, (26/8/2023).
Inggris, Prancis, Jerman, dan Uni Eropa menyatakan bahwa mereka akan menghentikan bantuan kepada Niger setelah penggulingan Bazoum, di tengah pergolakan politik, peningkatan ekstremisme Islamis, dan meningkatnya pengaruh Rusia di seluruh wilayah.
Dilansir dari Africa news, The Economic Community of West African States (ECOWAS) mengumumkan niatnya untuk mengerahkan pasukan regional untuk “memulihkan ketertiban konstitusional” pada Kamis, (10/8/2023), sambil tetap mengutamakan jalur diplomatik.
Kudeta ini juga telah mengangkat nasib uranium Niger ke pusat perhatian karena para ahli mengatakan bahwa kemungkinan besar negara-negara Eropa harus mengalami dampaknya terhadap industri nuklir.
2. Burkina Fuso – dua kudeta dalam delapan bulan
Di tahun 2022, Burkina Fuso mengalami dua kudeta militer dalam kurun waktu sekitar depan bulan. Mulai dari penggulingan Presiden Roch Kaboré oleh Letnan Kolonel Paul-Henri Damiba pada bulan Januari 2022.
Damiba yang berjanji akan memulihkan keamanan negara setelah meningkatnya serangan dari ekstremis Islamis, digulingkan oleh Kapten Ibrahim Traoré pada September 2022, setelah melihat tidak adanya kemajuan dalam menghentikan kekerasan.
Kemudian Pentagon menempatkan pasukan Baret Hijau Amerika Serikat (AS) di Ouagadougou (Ibukota Burkina Fuso) dan Departemen Luar Negeri AS yang menyewa kontraktor untuk melatih pasukan negara ini, dengan harapan dapat melawan ancaman militer Islamis dan pengaruh tentara bayaran Rusia, Wagner Group, di wilayah tersebut.
3. Mali
Dikutip dari The Washington Post, Presiden Ibrahim Boubacar Keïta digulingkan oleh sekelompok pemimpin militer Mali pada 18 Agustus 2020, setelah protes anti-pemerintah terkait korupsi, ekonomi negara dan manajemen pandemi yang buruk, serta ancaman keamanan negara sedang berlangsung.
Para pemimpin internasional dan Dewan Keamanan PBB mengutuk tindakan kudeta tersebut. Tak hanya itu, AS mengakhiri bantuan militer ke Mati tiga hari setalh dilakukan kudeta.
Junta mundur dari kesepakatan September 2020 karena negara ingin memulai kembali dengan pemilihan umum sipil setelah Bah N'daw dilantik sebagai presiden sementara. Membuat negara ini harus menghadapi sanksi dari AS.
Sanksi AS baru-baru ini juga menargetkan para pemimpin utama junta karena diyakini terlibat hubungan dengan Wagner Group, yang memiliki 1.000 pejuang di negara Mali dan telah dituduh melakukan pelanggaran HAM terhadap warga sipil.
4. Guinea
Kolonel Mamady Doumbouya, komandan pasukan khusus Guinea yang dilatih AS, menggulingkan Presiden Alpha Condé pada September 2021, setelah bertahun-tahun melakukan protes terhadap Condé karena mengubah konstitusi untuk memberikan masa jabatan ketiga bagi dirinya sendiri dan mencebloskan kandidat oposisi ke penjara.
AS mengutuk kudeta tersebut dan menghentikan bantuan militer, termasuk mengirimkan tim kecil Pasukan Khusus AS untuk melatih pasukan khusus Guinea.
Di tengah ancaman dan protes kekerasan yang sedang berlangsung, Doumbouya setuju untuk mengembalikan Guinea ke pemerintahan sipil dengan transisi selama 24 bulan yang dimulai pada awal 2023.
5. Chad
Pada April 2021, Presiden Idriss Déby terbunuh dalam operasi militer melawan pemberontakan di perbatasan utara Chad.
Peristiwa tersebut seharusnya menaikkan ketua parlemen ke kursi kepresidenan. Namun, dewan militer mengambil alih kekuasaan dan mengangkat putra Déby, Jenderal Mahamat Idriss Déby, sebagai presiden.
AS tidak secara resmi menjatuhkan sanksi terhadap negara ini setelah transisi kekuasaan yang tidak konstitusional.
6. Sudan
Pada 25 Oktober 2021, tentara yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhane merebut kekuasaan negara itu, yang seharusnya memimpin Sudan menuju demokrasi setelah 30 tahun kediktatoran Presiden Omar Hassan al-Bashir, yang digulingkan pada 2019 di tengah protes pro-demokrasi.
Sejak 15 April 2023, perang akibat perebutan kekuasaan antara Jenderal Burhane dan mantan wakilnya, Mohamed Hamdane Daglo, telah menewaskan sedikitnya 5.000 orang di negara ini.
7. Gabon
Perwira militer muncul di televisi nasional di Gabon untuk mengatakan bahwa mereka telah mengambil alih kekuasaan pada Rabu (30/8/2023).
Mereka mengatakan telah membatalkan hasil pemilu pada Sabtu (26/8/2023), di mana Presiden Ali Bongo dinyatakan sebagai pemenang.
Dua belas tentara muncul di televisi pada Rabu (30/8/2023), mengumumkan bahwa mereka membatalkan hasil pemilu dan membubarkan “semua institusi republik”.
Mereka juga mengatakan perbatasan negara telah ditutup “sampai pemberitahuan lebih lanjut”.
(Susi Susanti)