JAKARTA- Mengulik hubungan persaudaraan Indonesia dan Palestina yang sudah ada dari zaman Sunan Kudus. Mungkin, orang juga belum banyak yang tahu tentang sejarah ini.
Pada zaman kerajaan Demak ada seorang pendakwah sekaligus panglima perang bernama Syaikh Ja'far. Dia dikenal pula dengan nama Ja'far Shodiq atau Sunan Kudus.
Sebelum dia hijrah ke Kita Tajug, sebelah utara Demak, Sunan Kudus ini membangun masjid pada 956 H. atau 1530 M. Lalu, masjid tersebut diberi nama Masjidil Aqsha. Bahkan dalam prasasti pendirian masjid bertuliskan: “Telah dibangun Masjidil Aqsha fil Quds”.
Sunan Kudus pun beralasan memberi nama tersebut karena meniru apa yang ada di Palestina, yaitu masjidil Aqsha di Kota Quds. Sehingga beliau mengubah nama kota Tajung menjadi Kota Kudus.
Masjidil Aqsha memiliki menara yang tinggi masih ada hingga kini di tengah Kota Kudus dan menjadi kebanggaan umat Muslim. Bukan hanya di Indonesia, bahkan di manca negara.
Bukan hanya dari segi bangunan masjid, hubungan persaudaraan Indonesia dan Palestina pun terlihat dari pertama kali menyuarakan kemerdekaan Indonesia adalah Palestina.
Hal tersebut pun terlihat dalam catatan buku yang ditulis oleh Ketua Panitia Pusat Perkumpulan kemerdekaan Indonesia, M. Zein Hassan Lc berjudul 'Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri'.
Dalam buku tersebut, dukungan Palestina ini diwakili oleh Syekh Muhammad Amin Al-Husaini -mufti besar Palestina- secara terbuka mengenai kemerdekaan Indonesia:
“.., pada 6 September 1944, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan ‘ucapan selamat’ mufti Besar Palestina Amin Al-Husaini (beliau melarikan diri ke Jerman pada permulaan perang dunia kedua) kepada Alam Islami, bertepatan ‘pengakuan Jepang’ atas kemerdekaan Indonesia . Berita yang disiarkan radio tersebut dua hari berturut- turut, kami sebar-luaskan, bahkan harian “Al-Ahram” yang terkenal telitinya juga menyiarkan.” Syekh Muhammad Amin Al-Husaini dalam kapasitasnya sebagai mufti Palestina juga berkenan menyambut kedatangan delegasi “Panitia Pusat Kemerdekaan Indonesia ” dan memberi dukungan penuh.”
Sementara itu, Dwi Wahyuningsih (2021) mencatat Kota Kudus adalah monumen kerinduan tentang Al-Aqsha. Sebuah kota dengan nama yang sama dengan tempat asal Sang Pendakwah. Bahkan satu-satunya nama tempat yang namanya berasal dari bahasa Arab di antara seluruh tanah Jawa ini.
Kudus diambil dari nama tempat asal Sunan Kudus yang pada masa itu memang popular disapa Al-Quds. Maka dalam lisan masyarakat Jawa pada masa itu, di sebutlah dengan nama Kudus karena lebih mudah diucapkan.
Mulai dari nama kota, masjid, hingga gunungnya pun tampaknya memang sengaja disesuaikan dengan kondisi tempat di Baitul Maqdis. Kota Kudus, layaknya sebuah monumen kerinduan tentang Al-Aqsha.
Peristiwa bersejarah tersebut tidak banyak diketahui generasi sekarang, mungkin juga para pejabat di negeri ini.
Bahkan dukungan ini telah dimulai setahun sebelum Sukarno-Hatta benar-benar memproklamirkan kemerdekaan RI. Tersebutlah seorang Palestina yang sangat bersimpati terhadap perjuangan Indonesia, Muhammad Ali Taher.
Bukan hanya monumen kerinduan Sayyid Ja’far As-Shadiq dengan tanah kelahirannya, tapi boleh jadi di masa akhir-akhir ini, juga adalah kerinduan kita sebagai umat Muslim terhadap pembebasan Al-Aqsha dari tangan para penjajah Zionis tersebut.
Di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, hubungan mesra Indonesia dan Palestina pun dilanjutkan. Asma Nadia (2019) mencatat sebenarnya jika diurut sejak awal, pembelaan ini bermula dari dukungan seorang Mufti besar Palestina yang mengakui kemerdekaan Indonesia sejak masa penjajahan Jepang. Ya, jauh sebelum negara lain.
Hal tersebut diungkap dalam buku "Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri", yang ditulis oleh M. Zein Hassan Lc pun dalam buku "Ziarah Sejarah; Mereka yang Dilupakan" karya Hamid Nabhan.
(RIN)
(Rani Hardjanti)