RAMALLAH - Pasukan Pertahanan Israel (IDF) diduga menggunakan amunisi fosfor putih dalam serangannya terhadap Gaza, klaim Kementerian Luar Negeri Palestina dalam sebuah posting media sosial pada Selasa, (10/10/2023). Mereka juga mengunggah video yang menunjukkan dampak dari dugaan serangan yang menggunakan senjata pembakar tersebut.
Amunisi fosfor putih tidak dilarang berdasarkan hukum internasional, namun penggunaannya diatur dengan ketat. Amunisi ini tidak boleh digunakan di daerah padat penduduk, karena dapat menimbulkan ancaman terhadap warga sipil, menurut Konvensi PBB tentang Senjata Konvensional Tertentu tahun 1980.
Sebuah video yang dipublikasikan oleh Kementerian Luar Negeri Palestina di X (sebelumnya Twitter) menunjukkan area luas dan tandus di dekat bangunan yang dipenuhi sejumlah besar benda kecil mirip suar yang masih menyala dan mengeluarkan asap putih tebal. Tidak ada korban jiwa atau kerusakan baru-baru ini pada bangunan di dekatnya yang terlihat dalam rekaman tersebut.
“Pendudukan Israel menggunakan bom fosfor putih yang dilarang secara internasional terhadap warga Palestina di lingkungan Karama di Gaza utara,” kata kementerian, dalam keterangan video tersebut, sebagaimana dilansir RT.
Amunisi yang mengandung fosfor putih biasanya digunakan oleh militer untuk membuat tabir asap dan menyembunyikan pergerakan pasukan, karena kemampuannya menghasilkan asap dalam jumlah besar. Itu juga bisa digunakan untuk menandai target musuh. Namun, amunisi itu juga memiliki sifat pembakar yang membuatnya sangat berbahaya bagi manusia.
Fosfor putih menyala melalui kontak sederhana dengan udara karena interaksinya dengan oksigen. Ia terbakar pada suhu antara 800C dan 2.500C. Memiliki sifat seperti lilin, zat ini mudah menempel pada berbagai permukaan, termasuk pakaian dan kulit, serta sangat sulit untuk dibersihkan atau dipadamkan. Diketahui menyebabkan luka bakar yang dalam hingga ke tulang, sedangkan sisa-sisa zat yang terkandung dalam jaringan manusia berpotensi menyala kembali setelah perawatan awal ketika bersentuhan kembali dengan udara.
Tidak jelas apakah video yang dipublikasikan oleh pejabat Palestina di X adalah video terbaru atau di mana tepatnya video tersebut direkam. Israel diketahui telah berulang kali menggunakan amunisi fosfor putih di masa lalu. Pada 2006, pemerintah Israel mengakui menggunakan senjata-senjata ini selama perang berbulan-bulan dengan kelompok militan Lebanon, Hizbullah. Israel bersikeras pada saat itu bahwa mereka menggunakan amunisi tersebut sesuai dengan hukum internasional, meskipun banyak laporan media bahwa amunisi tersebut ditembakkan khususnya ke wilayah dengan populasi sipil.
Pada 2009, Israel mengakui penggunaan “amunisi yang mengandung fosfor putih” selama serangan di Gaza antara Desember 2008 dan Januari 2009.
Sebelumnya, militer negara ini dikritik keras oleh Human Rights Watch atas tindakan tersebut, yang digambarkan sebagai “bukti kejahatan perang” oleh LSM tersebut. Menurut media, penggunaan amunisi ini juga menyebabkan sebagian kompleks PBB di Gaza terbakar setelah bersentuhan dengan bahan pembakar pada saat itu.
Pada April 2013, Israel mengatakan mereka akan berhenti menggunakan amunisi fosfor putih untuk membuat tabir asap dan akan beralih ke zat gas untuk tujuan ini. Tidak ada laporan baru mengenai penggunaannya oleh IDF sejak saat itu hingga sekarang.
Israel sejauh ini belum mengomentari klaim Kementerian Luar Negeri Palestina.
Berita ini muncul di tengah gejolak konflik Israel-Palestina terbaru, yang terjadi setelah serangan besar-besaran terhadap Israel oleh kelompok militan Hamas yang berbasis di Gaza pada akhir pekan. Lebih dari 1.000 warga Israel tewas dalam serangan awal dan bentrokan berikutnya, kata pihak berwenang Israel.
Yerusalem Barat menanggapinya dengan kampanye pengeboman besar-besaran terhadap Gaza, yang merenggut nyawa lebih dari 800 warga Palestina, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. PBB mengatakan pada hari Selasa bahwa mereka akan meluncurkan penyelidikan kejahatan perang terhadap kedua belah pihak, dengan alasan “bukti jelas” bahwa ada pelanggaran hukum internasional.
(Rahman Asmardika)