JAKARTA - Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan diminta untuk melibatkan partisipasi dari petani tembakau dan publik.
"Pasal-pasal yang terkait dengan pertembakauan tidak disosialisasikan sebelum RPP itu ada,”ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Agus Pamudji, Kamis (26/10/2023).
“Semestinya sejak dari wacana, paling tidak melibatkan semua stakeholders yang terkait. Di situ kami petani tembakau tidak dilibatkan dari awal ketika pemerintah mengusulkan RPP Kesehatan," tambah Agus.
Saat ini Pemerintah, yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sedang menyusun draf RPP Omnibus Kesehatan yang akan mengatur semua poin-poin aturan turunan yang ada dalam UU Kesehatan.
Dalam draf RPP Kesehatan, Pemerintah berupaya memperketat larangan distribusi produk tembakau, misalnya dengan tidak boleh menampilkan produk pada toko retail.
“Di situ harusnya petani tembakau, Kementerian Pertanian, dan juga Kementerian terkait ekonomi diundang secara proporsional,” ujarnya.
Menurutnya, jumlah pelaku ekonomi di industri tembakau sangatlah besar. Untuk petani saja, jumlahnya sekitar 3,1 juta orang, belum termasuk buruh tani. Hal ini belum menghitung pekerja dari sektor pendukung lain seperti buruh angkut, sopir truk, dan lain sebagainya.
"Kalau sebelum dibikin aturan-aturan yang mengebiri pertembakauan, ini (sektor tembakau) sangat signifikan, karena tembakau ketika panen bisa menunjang masa depan para petani tembakau, anak-anak untuk sekolah, dan ekonomi keluarga," kata Agus.
Agus berharap Pemerintah berkenan untuk membongkar ulang pasal-pasal tembakau yang ada di RPP Kesehatan. Baginya, para petani mempunyai hak untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan publik.
"Petani tembakau masih warga negara Indonesia yang sah. Dan tembakau adalah tidak lepas dari regulasi, ketika negara ini makmur maka semua petani harus dimakmurkan tanpa kecuali," tutup Agus.
(Fahmi Firdaus )