JAKARTA - Jenderal Hoegeng Imam Santoso memiliki perawakan seperti peranakan Tionghoa. Maka tak heran ia kerap dipanggil Koko atau Koh. Padahal, pria kelahiran 14 Oktober 1921 itu sama sekali tidak memiliki darah Tionghoa atau keturunan China.
Nyatanya, kedua orangtua Hoegeng berasal dari Jawa Tengah. Ayahnya yang merupakan seorang ambtenaar atau pegawai pemerintah Hindia Belanda, yang juga pernah menjadi seorang jaksa, berasal dari Pekalongan. Sedangkan ibunya berasal dari Tegal.
BACA JUGA:
Dalam Buku 'Hoegeng Polisi dan Menteri' dikisahkan sang jenderal polisi ini pernah suatu sore dengan baju koko bergaya Shanghai yang melekat di tubuhnya sedang mengendarai jeep Willis miliknya dari arah Kebayoran Baru menuju rumahnya di Menteng.
Secara tiba-tiba, ada seorang tentara yang menghentikannya untuk menumpang ke suatu tempat, saat itu ia sedang berada di kawasan jalan Sudirman di sekitar Jembatan Semanggi.
BACA JUGA:
Hal tersebut terjadi tak lama setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Dihentikan atau dicegat oleh satu hingga dua tentara merupakan hal yang biasa pada masa itu.
Jadi tidak heran apabila sedang di jalan, lalu ada tentara yang mencegat, sama seperti apa yang Hoegeng dan mobilnya alami. Apalagi Hoegeng memiliki wajah seperti orang China, nampaknya hal tersebut jugalah yang menjadi penyebab mobil Hoegeng dihentikan.
Setelah tentara tersebut duduk di samping Hoegeng, tentara tersebut menyapanya, “Koh, saya ikut menumpang ya,” yang dijawab dengan anggukan oleh Hoegeng.
Tidak sampai di situ, sang tentara bertanya dengan nada yang membentak, “Siapa namamu?”, Hoegeng pun menjawab “Saya Hoegeng”.
Sang tentara yang menumpang di mobil Hoegeng pun melirik ke arah Hoegeng. Tak disangka, setelah melirik ke arah pengendara mobil yang ditumpanginya itu, seketika sang tentara merasa malu dan meminta untuk diturunkan sebelum sampai di tempat tujuannya. Mungkin tentara tersebut tidak asing dengan sosok Hoegeng.
BACA JUGA:
“Mengapa harus turun di sini? Mari Hoegeng antar ke tempat tujuan,” ujar Hoegeng dengan senyuman di wajahnya.
Namun sang tentara tidak menjawab, ia malah buru-buru turun sambil mengucapkan terima kasih kepada Hoegeng, tanpa berani melihat wajah Hoegeng lagi.
(Nanda Aria)