PEMILU sudah di depan mata, jika tidak ada halangan, tanggal 14 Februari 2024 bangsa Indonesia yang memenuhi syarat akan memilih anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota). Secara bersamaan dilaksanakan pula Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Indonesia untuk periode 2024-2029.
Belajar dari pemilu sebelumnya, momentum pemilu berpotensi menghadirkan perselisihan bahkan konflik yang disebabkan karena perbedaan pilihan maupun penolakan terhadap hasil pemungutan suara. Masih lekat dalam ingatan kita pada Pemilu 2019, terjadi kericuhan saat penetapan hasil pemilihan presiden yang memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dari Prabowo-Sandi dengan selisih suara 11%. Kericuhan di depan kantor Bawaslu pada Rabu 22 Mei 2019 itu sampai menelan korban jiwa meninggal.
Menjaga resiliensi sosial menjadi formulasi yang tepat untuk menghindari terjadinya perselisihan ataupun konflik sosial karena pemilu. Resiliensi didefinisikan oleh beberapa ahli sebagai kesatuan dari proses, kemampuan dan output dari adaptasi terhadap perubahan dari keadaan yang mengancam (Masten, 1990). Sedangkan Masten (1998) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk bertahan, beradaptasi, bangkit, dan berkembang menjadi lebih baik dari kondisi keterpurukan (Masten, 1999).
Resilensi ditentukan oleh jenis kerawanan yang dihadapi. Selain kemampuan bangkit dan berkembang menjadi lebih baik dari kondisi yang terpuruk, resiliensi juga merupakan kemampuan untuk mengantisipasi kondisi yang tidak menguntungkan atau tidak diinginkan yang pada masa yang akan datang (Adger, 2000). Mengacu pada pendapat Adger (2000) ini, pada konteks pemilu 2024, resiliensi sosial diperlukan dalam mengantisipasi kerentanan sosial yang mungkin terjadi.
Kerentanan sosial dapat berupa konflik yang mungkin dipicu oleh maraknya berita-berita bohong (hoax) yang tersebar atau sengaja disebar untuk memecah belah masyarakat. Ketidakharmonisan pada akhirnya bermuara pada konflik horizontal. Masyarakat Indonesia yang majemuk rentan terhadap perpecahan maupun konflik.
Kecurigaan mudah muncul karena kondisi ini. Polarisasi yang mungkin terjadi karena dukung mendukung calon dalam pemilu harus diredam dan diantisipasi agar tidak menjadi perselisihan atau perpecahan diantara individu maupun kelompok masyarakat. Perbedaan “selera” terhadap calon pemimpin bangsa merupakan keniscayaan karena perbedaan kondisi demografis maupun sosiologis penduduk Indonesia. Perbedaan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pendapatan, suku bangsa, status sosial akan memunculkan pola pikir yang berbeda diantara individu dan masyarakat. Perbedaan pola pikir akan mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat dalam memilih calon pemimpin bangsa.