JAKARTA - Palmerah menjadi salah satu kota yang memiliki sejarah dan asal usul unik di balik namanya sebelum menjadi bagian penting dari perkembangan Jakarta.
Sebagai bagian dari kecamatan di Jakarta Barat, Palmerah tidak pernah absen dari hiruk pikuk kehidupan perkotaan yang dipadati dengan pemukiman penduduk yang strategis, gedung-gedung perkantoran, hingga alat transportasi yang selalu ramai yaitu Stasiun Palmerah.
Namun, sebelum menjadi salah satu pusat perkantoran dan bisnis di Jakarta, Palmerah sudah ada sejak era kolonial Hindia Belanda dan menjadi saksi perkembangan sejarah Indonesia. Mari kita gali sejarah dan asal usul Palmerah yang telah membentuk identitas kota ini.
Kenapa dinamakan Palmerah?
Asal usul nama Palmerah berasal dari dua kata, yaitu Pal dan Merah. Kata Pal memiliki arti Patok yang merujuk pada patok-patok yang berada di sekitar pinggiran jalan di wilayah tersebut, sementara Merah merujuk pada warna merah patok-patok yang berserakan itu. Hal itulah yang menjadi alasan kenapa Palmerah dinamakan demikian.
BACA JUGA:
Diketahui bahwa patok-patok tersebut memiliki kegunaan yaitu untuk menandai batas wilayah dari Batavia (Jakarta) menuju Buitenzorg (Bogor) pada masa penjajahan Belanda.
Berdasarkan sejarah, wilayah Palmerah dulunya sering digunakan sebagai tempat perlintasan para kepala daerah seperti gubernur yang menggunakan kereta kuda untuk melakukan perjalanan mereka ke Istana Bogor. Biasanya, rombongan gubernur tersebut akan mengistirahatkan kudanya di Pos Pengumben, yang tak jauh dari lokasi.
Memasuki tahun 1890-an, sebuah perusahaan kereta api bernama Staatsspoorwegen melakukan pembangunan jalur kereta beserta sejumlah stasiun, termasuk Stasiun Palmerah yang bertujuan untuk meningkatkan mobilitas penumpang di wilayah Banten, tepatnya dari Batavia ke Rangkasbitung.
BACA JUGA:
Proyek pembangunan Stasiun Palmerah itu pun nantinya akan menghubungkan Jakarta Barat melalui Stasiun Duri hingga menuju ke Rangkasbitung, melalui Stasiun Tanah Abang. Pada tahun 1899, proyek berhasil diselesaikan dan kereta api reguler mulai beroperasi di jalur tersebut.
Jalur transportasi kereta api itu menjadikan wilayah Palmerah kian ramai oleh penduduk. Bahkan, Palmerah menjadi tempat keberadaan bangunan dua villa megah milik Andries Hartsinck, seorang pejabat tinggi VOC, yang memiliki atap bergaya limasan dengan genting yang menutupinya.
Satu villa Hartsinck yang terletak di Palmerah Selatan memiliki julukan yaitu Landhuis Djipang atau banyak yang menyebutnya dengan Landhuis Depan. Sedangkan villa satunya yang berada di Palmerah Barat sering disebut sebagai Landhuis Grogol.
Pada bagian halaman depan villa Landhuis Djipang, terdapat sebuah menara lonceng yang digunakan sebagai penanda awal dan akhir waktu kerja bagi para budak yang tinggal di barak yang terpisah dari tempat tinggal tuan tanah mereka.
Seiring berjalannya waktu hingga akhir abad ke-20, villa Hartsinck mengalami perubahan mulai dari tanah perkebunan hingga menjadi tanah hunian bagi kawasan pemukiman yang padat. Namun, lonceng yang menyertai bangunan tersebut masih bertahan yang tersemat di sebuah menara beton di halaman kantor rukun warga.
Bangunan villa hingga lonceng itu menjadi saksi sejarah dan asal usul sebuah wilayah perkotaan yang ramai dengan hiruk pikuk aktivitas perkantoran dan bisnis di Jakarta, yang dikenal dengan nama Palmerah.
(Qur'anul Hidayat)