MADIUN - Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) pecah dan meluas ke wilayah mancanegara atau monconegoro Timur kerajaan Mataram (Yogyakarta).
Magetan, Madiun, dan Caruban pada 8 Agustus 1825 menyatakan bergabung dengan gerakan Pangeran Diponegoro. Rakyat Magetan, Madiun, dan Caruban mengangkat senjata melawan kolonial Belanda.
Perlawanan rakyat dipimpin Kertodirjo atau Mas Tumenggung Kertodirjo mantan Bupati Kerjo dan Masaran. Kertodirjo diberhentikan sebagai bupati pada Desember 1821.
Pemecatan Kertodirjo akibat ulah licik Patih Danurejo IV yang menginginkan kerabat istrinya, yakni Raden Tumenggung Sosrowirono menggantikan kedudukan Kertodirjo.
Kertodirjo mengobarkan perlawanan bersama Raden Ngabehi Mangunprawiro atau Mangunnegoro, yakni Bupati Purwodadi yang sejak awal bergabung dengan Pangeran Diponegoro.
“Pemberontakan dari kedua orang tadi (Kertodirjo dan Mangunnegoro) menyulut kerusuhan di Ngawi, Piak, Gerih (Subdistrik Geneng) dan Kudur-Brubuk (Kudur-Brubuh),” demikian dikutip dari buku Antara Lawu dan Wilis (2021).
Ngawi dan Piak yang menjadi lokasi pecahnya kerusuhan merupakan wilayah yang berada di bawah kawedanan Gladhag, Yogyakarta.
Pada masa kolonial Belanda, kedua tempat itu menjadi pemasok sekaligus penanggung jawab tersedianya tenaga transportasi dan pekerjaan umum.
Sedangkan Kawuh dan Kudur-Brubuh merupakan wilayah kekuasaan Tumenggung Pringgoloyo dan Tumenggung Nitinegoro.
Raden Tumenggung Pringgoloyo merupakan Bupati Yogyakarta untuk wilayah Kertosono. Sementara Gerih langsung di bawah kekuasaan Pakualam I (1812-1829) yang kebijakannya kerap tidak memberikan rasa keadilan bagi rakyat.
Petinggi kolonial Belanda Jenderal Hendrik Merkus de Kock (1779-1845) mendengar adanya perlawanan itu. De Kock tidak tinggal diam. Sejumlah bupati mancanegara bagian timur dikumpulkan.
Sebanyak tujuh bupati berkumpul di Solo menyatakan kesetiaan kepada Jenderal de Kock. Para bupati itu di antaranya Bupati Wedana Madiun, yakni Prawirodirjo dan Prawirosentiko.
Bupati Maospati Yudoprawiro, Bupati Muneng Yudokusumo, dan Bupati Bagi, Surodiwirio. “Mereka diberi limpahan hadiah oleh pemerintah kolonial sebagai ganti kesetiannya”.
Hadiah dari kolonial Belanda berupa jalinan pita keemasan dan keperakan, lembaran kain laken, serta kancing dari kain cita dan rotan.
Namun, upaya Belanda tidak menyurutkan ketegangan imbas di wilayah terjadi Madiun pemberontakan. Pada Oktober 1825 berkembang isu pernyataan kesetiaan para bupati adalah pura-pura.