MALANG - Guru Besar Universitas Brawijaya (UB) Malang Rachmad Safa'at menegaskan, keputusan seruan kritikan kepada pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi), tidak dalam tendensi serta kepentingan apapun. Menurutnya, ada lima alasan yang membuat dewan profesor, akademisi, dan mahasiswa UB, pada Selasa lalu, 6 Februari 2024 menyentil pemerintah.
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum ini, pertama pengembangan sistem ekonomi dan politik oligarki yang kian kuat di era pemerintahan Presiden Jokowi, dalam lima tahun terakhir. Sistem politik ekonomi oligarki ini kian nampak ketika penguasa membangun elite, yang menguasai sumber daya alam.
"Sistem ini nampaknya pemerintah membangun elite, elite itu orang tertentu, di pengusaha dan pemerintah, untuk menguasai pengambilan keputusan di dewan, dan menguasai sumber daya alam. Sehingga yang lain nggak kebagian, elite oligarki ini tidak lebih dari 100 orang, mereka menguasai 60 persen kekayaan Indonesia, bahkan lebih sekitar 70-an. Selebihnya harus dibagi yang 30 persen itu dibagi ke rakyat Indonesia," kata Rachmad Safa'at, dikonfirmasi pada Kamis (8/2/2024).
Di sisi lain, korupsi semasa pemerintahan Presiden Jokowi kian subur. Bahkan, indeks korupsi Indonesia di mata dunia kian meningkat, dan beberapa negara di dunia disebut Rachmad menyatakan Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup. Padahal, jika kekayaan alam itu dikelola dan dimanfaatkan untuk rakyat, kebutuhan rakyat bisa tercukupi.
"Kemudian, yang ketiga ada persoalan di mana Jokowi membangun sistem otoritarian, dia otoriter betul. Dia menggerakkan Mahkamah Konstitusi (MK), DPR, dan tentara, serta polisi, untuk berada dalam cengkraman politik dia, sehingga anda lihat saja bagaimana calon presiden yang lain tiba-tiba dilarang oleh Polisi. Ini yang disebut dengan oligarki personal otoritarian," paparnya.
Berikutnya, Presiden Jokowi disebutnya sudah memiliki etika politik yang tidak baik. Hal ini ditunjukkan dengan pencalonan anaknya Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden, serta mendorong MK untuk menyetujui, mencari dalil apapun, terpenting bisa jadi.
"Padahal itu kan bertentangan dengan konstitusi, yang kelima yang dilakukan Jokowi dia boleh berpihak menyatakan dirinya sendiri boleh berpihak, nggak boleh dia sebagai penyelenggara, masak ikut menendang bolanya," ujarnya.
Sayang kritikan dan masukan yang diberikan perguruan tinggi ditanggapi Jokowi dan istana, dengan stimulan negatif. Bahkan, menyebut kampus-kampus seperti Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Padjadjaran (Unpad), ditunggangi kepentingan politik dan golongan tertentu.
"Saya tahu persis orang-orang di bawah UGM, UI, saya tahu dan kenal saya dengan Prof. Harkristuti Harkrisnowo, dengan Prof. Koentjoro, saya kenal, dia memang sungguh-sungguh menyuarakan ini untuk perbaikan negeri, nggak ada tendensi tertentu," tandasnya.
(Arief Setyadi )