HAITI - Sebuah laporan baru dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggambarkan “praktik keterlaluan” yang digunakan oleh geng-geng kriminal di Haiti untuk melakukan tindakan brutal, menghukum dan mengendalikan penduduk sipil.
Dilaporkan bahwa geng-geng tersebut, yang diperkirakan menguasai lebih dari 80% ibu kota, Port-au-Prince, merekrut dan menganiaya anak-anak, terkadang membunuh mereka yang mencoba melarikan diri.
Ketua Hak Asasi Manusia PBB, Volker Türk, mengatakan situasi ini adalah sebuah bencana besar.
Dikutip BBC, dia memperingatkan bahwa senjata terus mengalir ke negara tersebut.
Laporan yang diterbitkan pada Kamis (28/3/2024) menemukan bahwa telah terjadi peningkatan signifikan dalam kekerasan bersenjata yang disebabkan oleh geng kriminal dalam lima bulan menjelang bulan Maret.
Geng-geng menggunakan kekerasan seksual khususnya untuk menyebarkan ketakutan di daerah-daerah di mana mereka berjuang untuk mendapatkan kendali, dikatakan: “Selama serangan geng, beberapa perempuan dan anak perempuan menjadi sasaran pemerkosaan, termasuk pemerkosaan kolektif, di rumah mereka, sering kali setelah menyaksikan pembunuhan terhadap suami mereka,” terangnya.
Laporan tersebut menambahkan bahwa beberapa korban pemerkosaan telah dimutilasi atau dibunuh setelah serangan tersebut.
Menurut laporan tersebut, geng kriminal bersenjata di Haiti juga melakukan kekerasan terhadap anak-anak.
Korban dalam satu insiden adalah seorang bayi berusia tiga bulan, sementara dalam gelombang kekerasan di wilayah ibu kota yang sebelumnya dianggap relatif aman, seluruh keluarga dibakar hidup-hidup di rumah mereka.
Penelitian yang dilakukan pada September 2023 sampai dengan akhir Februari itu ditemukan bahwa kekerasan bersenjata yang disebabkan oleh geng-geng kriminal telah meningkat secara signifikan dalam intensitasnya dan geng-geng tersebut telah memperluas jangkauan geografis mereka.
Berbicara kepada BBC pada hari Rabu, kepala delegasi Komite Internasional Palang Merah (ICRC) untuk Haiti, Marisela Silva, mengatakan bahwa hampir 90% ibu kota Port-au-Prince, kini dikendalikan oleh atau di bawah pengaruh dari kelompok bersenjata.
Silva menggambarkan bagaimana terjadi pergeseran kekerasan dalam beberapa pekan terakhir ketika kelompok-kelompok bersenjata yang bersaing tampaknya bersatu dan kini lebih menyerang polisi, bukan satu sama lain.
Dia memperingatkan bahwa masyarakat terjebak dalam baku tembak. Dengan banyaknya ibu kota yang berada di bawah kendali geng, akses terhadap layanan darurat hampir tidak ada.
“Hanya ada dua ambulans yang mampu beredar di sekitar wilayah yang terkena dampak kekerasan bersenjata,” katanya.
Operasi bantuan di ibu kota juga terhambat oleh penyergapan di sepanjang jalur akses utama.
Silva mengatakan ICRC berhasil mendapatkan akses pasokan medis setelah operasi yang sangat kompleks yang mencakup dialog dengan berbagai kelompok bersenjata.
“Kita harus mampu memberikan apa yang dibutuhkan oleh mereka yang berada di lapangan,” tegasnya, mengakui bahwa meskipun pendekatan ICRC yang netral dan tidak memihak telah berhasil membangun kepercayaan, tidak selalu mungkin untuk mendapatkan akses ke wilayah yang dikuasai oleh kelompok bersenjata.
“Kami tidak memiliki perlindungan bersenjata, satu-satunya cara kami mencegah insiden keamanan adalah melalui dialog dengan semua pihak,” lanjutnya.
Ketua delegasi Haiti mengatakan bahwa dia khawatir situasi kemanusiaan di Haiti akan semakin memburuk karena semakin banyak orang yang mengungsi dan kesulitan mengakses air minum yang aman, makanan, dan bahkan layanan kesehatan paling dasar.
“Haiti rentan terhadap epidemi, seperti kolera. Jika tidak ada air bersih, jika tidak ada kebersihan minimum, maka ada risikonya,” dia memperingatkan.
(Susi Susanti)