Singgung Nepotisme di Pilpres 2024, Todung: Lahirkan Penyalahgunaan Kekuasaan

Riana Rizkia, Jurnalis
Sabtu 30 Maret 2024 16:43 WIB
Todung Mulya Lubis. (Foto: MPI)
Share :

JAKARTA - Ketua Tim Demokrasi dan Keadilan Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis mengungkapkan, inti persoalan Pilpres 2024 adalah nepotisme, yang melahirkan abuse of power secara terkoordinir.

Hal itu juga yang membuat nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap disebut dalam permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024.

Awalnya Todung menjelaskan, permohonan PHPU paslon 03 Ganjar-Mahfud juga mempersoalkan penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU), karena menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) tanpa mengubah peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2003 bahwa batas usia calon presiden (capres) dan cawapres adalah 40 tahun.

 BACA JUGA:

Sementara itu, dasar pencalonan Gibran yang belum memenuhi batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/2023 yang memperbolehkan seseorang di bawah usia 40 tahun bisa menjadi capres cawapres bila menjabat sebagai kepala daerah yang dihasilkan dari proses pilkada.

"Ketika pendaftaran dilakukan batas minimal usia capres - cawapres masih 40 tahun. Itu kan tidak berlaku surut," kata Todung dikutip dari kanal Youtube Abraham Samad 'Speak Up,' Sabtu (30/3/2024).

 BACA JUGA:

KPU menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres sebelum PKPU Nomor 19 Tahun 2003 diubah. Padahal, putusan MK itu tidak berlaku surut dan KPU baru mengubah PKPU itu pada 3 November 2023.

"Yang salah adalah KPU. Tetapi banyak pihak menilai Jokowi di balik putusan MK," ucapnya.

Lebih lanjut Todung mengatakan, MK yang kala itu diketuai Anwar Usman juga terlibat dalam hubungan nepotisme. Anwar Usman adalah ipar presiden, sementara Gibran adakah anak Jokowi.

"Nepotisme ini yang melahirkan berbagai penyalahgunaan kekuasaan untuk memenangkan paslon 02," ucapnya.

Di sisi lain, Todung juga menilai bahwa Pemilu 2024 sudah masuk kategori kecurangan terstruktur sistematis dan massif (TSM). Ia kemudian menyinggung soal dana bantuan sosial (bansos).

"Dan ini belum pernah terjadi. Setelah 1999, Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 oke, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak cawe-cawe," katanya.

"Pikiran saya antara lain, bansos senilai Rp496,8 triliun dan adjustment Rp 50 triliun, lebih dari Rp500 triliun bansos dikucurkan saat pileg dan pilpres. Bayangkan berapa banyak. Ini yang kita underestimate Jokowi. Ini kebijakan sejak gubernur, jumlahnya makin besar," sambungnya.

Menurutnya, bansos yang dikucurkan itu melebihi bansos saat pandemi Covid-19 terjadi pada tahun 2020, 2021 dan 2022.

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya