Menurut para penasihat, putra mahkota tidak sengaja menyenggol pundi-pundi emas itu dengan kakinya. Mereka berpendapat bahwa hukuman yang lebih adil adalah memotong kaki sang pangeran, bukan menghukumnya mati karena tidak ada unsur kesengajaan.
Setelah perdebatan panjang, Ratu Jay Shima akhirnya menerima argumen para penasihatnya. Putra mahkota hanya dihukum dengan memotong jari kakinya yang telah menyenggol pundi-pundi emas tersebut.
Utusan Raja Ta-che kembali ke China dan melaporkan kepada rajanya tentang keberanian dan keadilan Ratu Jay Shima yang rela menghukum anaknya sendiri demi menegakkan hukum. Mereka juga melaporkan tentang kejujuran rakyat Kalingga yang luar biasa.
Sang Ratu Kalingga ini juga begitu menjaga dinamika keseimbangan antara agama dan perpolitikan. Agama menjadi hal utama untuk menjaga moral masyarakatnya.
Ada dua agama yang dianut sebagian besar masyarakatnya, yakni Hindu Siwa dan Buddha. Hidup rukunnya kedua agama di masa Ratu Jay Shima menjadikan sang ratu dikenal dengan sebutan Di Yang, yang artinya tempat bertemunya agama Hindu dan Buddha.
Hal ini pula yang menjadikan rakyatnya begitu menghormati sosok sang ratu. Dikutip dari buku "Perempuan - Perempuan Tangguh Penguasa Tanah Jawa" tulisan Krishna Bayu Adji dan Sri Wintala Achmad, sang ratu memerintahkan pembangunan ratusan candi di wilayah Adi Hyang yang kini Dieng, berada di Jawa Tengah. Konon ada sekitar 400 buah candi dikerjakan dan dibangun di wilayah bekas pusat pemerintahan suaminya Kartikeyasingha.
Pembangunan-pembangunan candi ini diduga kuat dibuat mulai abad 7 hingga abad 8. Pembangunan ratusan candi Hindu di wilayah Adi Hyang, semakin menguatkan bahwa Ratu Jay Shima merupakan penganut Hindu Siwa. Pada masa pemerintahan Ratu Shima, agama Hindu lebih maju ketimbang agama Buddha yang dikembangkan Raja Sailendra.
(Arief Setyadi )