HONG KONG – Laporan mengenai tenggelamnya sebuah kapal selam nuklir China yang sedang dibangun baru-baru ini menjadi sorotan. Kapal selam tersebut diduga tenggelam antara Mei dan Juni 2024 di di galangan kapal Shuangliu di Wuhan, namun disebut bahwa insiden ini dirahasiakan oleh pihak berwenang.
Dilansir Hong Kong Post, Minggu, (13/10/2024) kapal yang tenggelam tersebut adalah kapal selam nuklir kelas Zhou terbaru yang sedang dibangun. Tenggelamnya kapal selam ini terungkap melalui analisis data citra satelit yang dikumpulkan Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS).
Para ahli mengatakan bahwa tenggelamnya kapal ini menjadi kerugian besar bagi angkatan laut China dan mengungkap sisi lemah angkatan laut negara tersebut.
Sebuah laporan Associated Press (AP) mengatakan bahwa mantan perwira kapal selam Angkatan Laut AS dan sekarang analis di Pusat Keamanan Amerika Baru, Thomas Shugart, adalah orang pertama yang menyadari insiden yang melibatkan kapal selam nuklir China di bulan Juli.
Citra satelit menunjukkan apa yang tampak seperti kapal selam yang berlabuh di galangan kapal China. Sebuah gambar yang diambil pada 15 Juni memperlihatkan kapal selam itu tenggelam seluruhnya atau sebagian di bawah permukaan sungai, dengan peralatan penyelamat dan derek mengelilinginya. Petugas di galangan berusaha mencegah kebocoran minyak atau kebocoran lainnya dari kapal.
Sebuah gambar satelit yang diambil pada 25 Agustus memperlihatkan kapal selam itu kembali ke dermaga yang sama. Masih belum jelas apakah kapal selam yang tenggelam itu telah diisi bahan bakar nuklir atau apakah reaktornya sedang beroperasi saat kejadian.
Otoritas China merahasiakan kecelakaan yang melibatkan kapal selam mereka. Itulah sebabnya Observer Research Foundation (ORF) telah memberi judul laporan tentang kecelakaan lain yang melibatkan kapal selam China yang jauh lebih serius daripada peristiwa terbaru sebagai "Kasus aneh PLAN 093-147.” PLAN adalah singkatan dari Tentara Pembebasan Rakyat – Angkatan Laut China.
Kapal selam kelas Shang tenggelam di Laut Kuning pada 21 Agustus tahun lalu, menewaskan semua 55 awaknya. Di antara mereka terdapat 22 perwira, tujuh kadet perwira, sembilan perwira rendahan, dan 17 pelaut. Rinciannya samar, karena China belum mengakui kecelakaan tersebut.
Ada laporan yang saling bertentangan tentang penyebab kecelakaan; cukup wajar karena upaya otoritas China untuk menyembunyikannya. Laporan di beberapa media Inggris mengatakan kapal selam itu telah terjerat rantai dan perangkap jangkarnya sendiri yang telah dipasang untuk menangkap kapal-kapal Barat yang mengintai di lepas pantai China di Laut Kuning.
Kecelakaan itu menyebabkan sistem pembangkit oksigen kapal selam gagal; menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas sistem pembangkit oksigen di atas kapal selam China. Para awak telah mencoba untuk memperbaiki sistem, tetapi akhirnya meninggal karena asfiksia.
Media Taiwan melaporkan bahwa penyebab sebenarnya dari kecelakaan itu adalah masalah serius dengan torpedo di atas kapal selam yang sedang dalam misi melakukan uji senjata bawah air. Sebuah torpedo meledak di tabung peluncur, menewaskan semua awak di dalamnya.
Menurut laporan ORF, Administrasi Keselamatan Maritim Liaoning telah mengeluarkan peringatan berulang kali untuk wilayah tempat bencana terjadi dari 20 Agustus hingga 8 Oktober, "indikasi kemungkinan merujuk ke insiden di wilayah tersebut."
Menurut laporan ini, penyelidikan yang diluncurkan Komisi Militer Pusat China menyimpulkan bahwa ada masalah serius dalam desain pengendalian tembakan torpedo. Dugaan korupsi pengadaan barang di angkatan laut dan tingkat yang lebih tinggi lagi sedang diselidiki.
Menteri Pertahanan China saat itu, Li Shangfu, telah menghilang dari pandangan publik sejak Agustus 2023. Ia dicopot dari jabatannya sebagai Menteri Pertahanan pada Oktober 2023 dan dikeluarkan dari Partai Komunis China (CCP) pada Juni 2024.
Pihak berwenang China belum memberikan penjelasan apa pun tentang nasib Li Shangfu.
"Li sedang diselidiki atas tanggung jawab dalam pengadaan persenjataan, termasuk untuk angkatan kapal selam," kata Shen Ming-Shih dari Institut Penelitian Pertahanan dan Keamanan Nasional di Taiwan, seperti dikutip di Radio Free Asia.
Berita yang bahkan tidak dapat disembunyikan oleh otoritas China adalah kecelakaan kapal selam diesel-listrik pada 2003 yang membawa 70 pelaut di dalamnya. Hal yang diketahui tentang penyebab insiden itu hanyalah masalah mekanis di dalam kapal selam.
ORF telah secara ringkas memberikan penilaiannya atas ‘penyakit’ yang dihadapi divisi kapal selam angkatan laut China. “PLAN tahu bahwa mereka memiliki banyak masalah; setidaknya di bidang peperangan bawah laut, di mana kesenjangan dengan Angkatan Laut AS cukup signifikan,” sebut ORF.
“Tipe 93 termasuk di antara kapal selam China yang paling canggih dan paling senyap,” lanjutnya.
Bencana seperti itu disebut ORF mengikis kredibilitas PLAN sebagai salah satu proyeksi kekuatan militer China.
“Kepemimpinan angkatan laut China telah lama mengetahui pentingnya menopang defisit bawah laut. Namun, Beijing tidak pernah berhasil mengatasi cacat pada kapal selam serang nuklirnya,” ungkap ORF.
The Strategist, sebuah publikasi Australia tentang urusan strategis, telah menolak sebuah pendapat bahwa kapal selam serang nuklir terbaru China lebih senyap dibanding kapal selam kelas Virginia milik AS.
“AS masih mendominasi perang di bawah laut,” katanya.
“Kapal selam nuklir strategis China tidak memberi Beijing kekuatan serang kedua yang pasti karena mereka sangat rentan terhadap kapal selam serang AS,” sebut The Strategist.
Menurut publikasi US War College pada September 2023, "Pangkalan industri kapal selam China terus mengalami kelemahan mengejutkan dalam hal propulsi dan peredaman kapal selam." Kelemahan utama PLAN, baik di kapal selam maupun di permukaan, adalah bahwa pelabuhan yang jauh dari pantai China yang dapat mereka akses tidak memiliki pekerja galangan kapal yang terampil dan fasilitas modern untuk memelihara armadanya.
“China hanya dapat bermimpi untuk mendapatkan akses ke tenaga kerja dan fasilitas negara tuan rumah di tempat-tempat seperti Yokosuka di Jepang dan Diego Garcia di Samudra Hindia yang dinikmati AS," kata US War College.
Washington telah membangun keunggulan luar biasa dalam hal memiliki pangkalan dan fasilitas pemeliharaan serta dalam mengembangkan aliansi yang dapat diandalkan sejak Perang Dunia II.
(Rahman Asmardika)