Perebutan kekuasaan tersebut secara tidak langsung mempengaruhi perekonomian yang mengakibatkan kenaikan pajak dan juga pembatasan jumlah imigran Tiongkok. Karena hal tersebut, gejolak protes pun muncul dari para Tionghoa di Batavia. Puncaknya, bentrokan pecah antara VOC dan etnis Tionghoa. Hal ini memicu korban jiwa berkisar 7.000 sampai 10.000 dari kubu Tionghoa pada kurun waktu 09 hingga 10 Oktober 1740.
Jasad para korban ini kemudian dikumpulkan dan dibuang di sebuah saluran pembuangan yang menghubungkan antara Kali Angke dan Cisadane di Tangerang bernama Mookervaart River. Jasad-jasad ini membuat air sungai yang semula jernih berubah menjadi merah darah.
Masyarakat Tionghoa yang lolos dari pembantaian tersebut kemudian menyebut aliran sungai itu dengan sebutan Angke. Kata "angke" berasal dari bahasa Hokkian yang terdiri dari "ang" yang berarti merah dan "ke" yang berarti sungai atau kali.
Terlepas dari nama Kali Angke, Muara Angke merupakan wilayah yang berada di hilir sungai ini. Oleh sebab itu, namanya disebut Muara Angke atau muara dari Kali Angke.
(Puteranegara Batubara)