Pimpinan Komisi di DPR yang membidangi urusan pemasyarakatan dan reformasi hukum itu khawatir pemindahan narapidana asing ke negara asalnya akan membuat hukuman mereka dikurangi atau malah justru akan dibebaskan. Pasalnya, kata Andreas, ketika narapidana sudah ‘dipulangkan’ maka kewenangan sudah berada di pemerintahan negara mereka.
"Mau direhabilitasi atau dibebaskan itu bukan kewenangan Indonesia," tukasnya.
Andreas juga mengingatkan dasar yang digunakan Pemerintah dalam proses transfer of prisoner dapat berdampak buruk di kemudian hari. Sebab kebijakan practical arrangement untuk pemindahan narapidana asing tak memiliki dasar hukum yang jelas.
"Practical arrangement ini berpotensi menjadikan penyelesaian pemindahan napi antar negara menjadi tidak mempunyai standar aturan yang jelas, berpotensi subjektif sesuai selera siapa yang berkuasa," ungkap Andreas.
Lebih lanjut, Andreas mengingatkan tentang isi dari pasal 45 ayat 2 UU No 22 tahun 2022 yang mengamanatkan bahwa ketentuan pemindahan narapidana diatur dengan undang-undang. Andreas menyebut, beleid itu tidak mengamanatkan pemindahan narapidana melalui practical arrangement.
"Oleh karena itu, Pemerintah perlu menjelaskan kepada publik mengapa dan alasan apa pemindahan narapidana ini mengabaikan UU Pemasyarakatan. Ini akan menjadi preseden buruk, karena justru Pemerintah sendiri yang mengabaikan hukum di negeri ini," paparnya.