Perlawanan Mertua Pangeran Diponegoro ke Belanda karena Politisasi Kayu

Avirista Midaada, Jurnalis
Senin 13 Januari 2025 07:51 WIB
Pangeran Diponegoro (Foto: Ist)
Share :

Ketua Dewan Administrasi Hutan, Gustaf Wilhelm Wiese (1771-1811; menjabat 1808-1810), yang baru ditunjuk oleh gubernur-jenderal, menulis surat dari Rembang berisi permintaan bahwa Bupati Yogyakarta di kawasan timur, yakni di Padangan, yang kini masuk Bojonegoro, dan Panolan, yang kini masuk Cepu. 

Dua daerah itulah konon dibutuhkan oleh Belanda untuk kegiatan penebangan kayu wajib hadir di Yogyakarta, untuk mendengarkan instruksi-instruksi Daendels. Raden Ronggo sepertinya juga dipanggil menghadap, sebab Madiun juga daerah yang memiliki kayu berlimpah. Yang menarik, Wiese tak berapa lama kemudian dipindahkan ke Yogyakarta sebagai residen, menjabat antara 1808 - 1810.

Dari dua bupati di atas, bupati pertama, Mas Tumenggung Sumonegoro dari Padangan, kemudian ikut memberontak melakukan perlawanan bersama Ronggo, dan kedua, Raden Tumenggung Notowijoyo III dari Panolan (Cepu, yang menjabat 1803 - 1811), adalah Pangeran mertua Diponegoro. Melalui momen inilah Pangeran Diponegoro muda akhirnya tahu tentang tekanan-tekanan politik, yang dialamatkan kepada kesultanan untuk membuka akses Belanda ke wilayah penghasil kayu.

(Arief Setyadi )

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya