IPW: Jaksa Penyidik Melekatkan Persangkaan Palsu dalam Kasus Korupsi Pertamina

Khafid Mardiyansyah, Jurnalis
Kamis 20 Maret 2025 20:42 WIB
Sugeng Teguh Santosa
Share :

”Persangkaan itu tidak benar, sekaligus menyesatkan. Perintah Pertamina kepada PT Orbit Terminal Merak untuk melakukan blending di storage/depo diperbolehkan, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi,” kata Sugeng. 

Syaratnya, harus sesuai standar dan mutu yang ditetapkan oleh menteri, yang pembinaan dan pengawasannya dilakukan melalui Dirjen Minyak dan Gas Bumi, sebagaimana Peraturan ESDM No. 48 Tahun 2005 tentang Standar Mutu (spesifikasi) serta Pengawasan Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain, LPG, LNG dan Hasil Olahan yang Dipasarkan di Dalam Negeri. 

”Pada 4 Maret 2025, Kejaksaan Agung meralat dengan menegaskan, kasus yang sedang diselidiki adalah praktik blending, bukan pengoplosan. Namun penggunaan istilah 'oplosan' yang tidak tepat telah telanjur menyesatkan masyarakat dan merugikan Pertamina. Informasi yang tidak akurat ini menyebabkan konsumen kehilangan kepercayaan dan beralih ke SPBU asing. Pendapatan Pertamina melorot hingga mencapai 20 persen. Ini adalah contoh nyata, bagaimana hoaks dan unprofessional oleh Kejaksaan Agung dapat merugikan perusahaan nasional dan perekonomian negara. Persangkaan blending sebagai korupsi merupakan maladministrasi,” tegas Sugeng. 

Sugeng Teguh Santoso menambahkan, jaksa penyidik telah membangun konstruksi hanya dengan menduga-duga telah  terjadi kemahalan harga sebesar 13 hingga 15 persen, dan telah memperkaya diri tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza, selaku Beneficial Owner PT Navigator Katulistiwa, yang ternyata pembuktiannya semata-mata hanya berlandaskan adanya komunikasi WhatsApp tersangka Dimas Werhaspati dengan tersangka Agus Purwomo, selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.

Menurut Sugeng, jaksa penyidik pada Jampidsus Kejagung telah keliru memaknai konteks komunikasi tersebut. Kemahalan harga sebesar 13 hingga 15 persen yang dimaksud merupakan margin keuntungan PT Pertamina International Shipping kepada PT Kilang Pertamina International, dan tidak memperkaya Muhammad Kerry Andrianto Riza. 

Fakta hukum yang sebenarnya, tersangka Dimas Werhaspati selaku pribadi, bermaksud ingin menjadi broker sewa kapal milik pihak lain, yang tidak ada kaitannya dengan diri Muhammad Kerry Andrianto Riza dan PT Navigator Katulistiwa. Keinginan itu bukan merupakan perbuatan pidana.

Dimas Werhaspati, menurutnya, bermaksud membantu melakukan dealing angka margin PT Pertamina International Shipping kepada PT Kilang Pertamina International yang telah disepakati antara Sani Dinar Saifudin selaku VP Feedstock & Inventory Management PT Kilang Pertamina International dengan Muhamad Reza selaku VP Komersial PT Pertamina International Shipping sebesar Harga Market + 12 persen (Harga Market saat itu $5,9 juta + 12 persen = $6,6 juta) yang kemudian memberitahukan kepada Agus Purwono selaku Senior Manager Crude Oil Supply di PT Kilang Pertamina International. 

Margin PT Pertamina International Shipping ke PT Kilang Pertamina International sejumlah Harga Market + 12 persen, menggunakan metode Pengiriman FOB (Freigt On Board). dalam dealing tersebut, Dimas Werhaspati selaku broker meminta fee sebesar 2 – 3 persen dari harga market publikasi serta tergantung hasil negosiasi dengan pemilik kapal yang, kalaulah kelak diperolehnya, bukan merupakan perbuatan melawan hukum.

Namun, ternyata peristiwa yang oleh jaksa disebut ”kontrak shipping (pengiriman)” yang dilakukan tersangka Yoki Firnandi selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping tidak pernah ditandatangani. Tanpa didukung alat bukti, jaksa kemudian dengan gegabah menetapkan Dimas Werhaspati dan Muhammad Kerry Andrianto Riza, selaku beneficial owner                     PT Navigator Katulistiwa, sebagai tersangka. 

”Persangkaan jaksa bahwa negara mengeluarkan fee sebesar 13 s.d. 15 persen secara melawan hukum, Muhammad Kerry Andrianto Riza, selaku beneficial owner PT Navigator Katulistiwa mendapatkan keuntungan adalah persangkaan palsu, sebagaimana yang dimaksud pasal 318 KUHP,” tambah Sugeng.

Dengan demikian, berdasarkan fakta-fakta dan uraian di atas, menurut Sugeng Teguh Santoso, Muhammad Kerry Andrianto Riza, Dimas Werhaspati, dan Gading Ramadhan Joedo telah menjadi korban rekayasa, kriminalisasi, dan praktik ”Misccariage of Justice and Law Enforcement” (the conviction of a person  for a crime they did not commit, or wrongful conviction, referring a conviction reached in an unfair process), yang dilakukan oleh penyidik Pidsus Kejagung RI. 

”Jika hal itu dibiarkan, dapat melahirkan Peradilan Sesat (Rechterlijke Dwaling) dan cenderung dapat menciptakan keputusan hakim yang tidak adil dan melanggar hak asasi manusia (HAM) sipil dan politik. Secara universal, dapat dikualifisir sebagai rangkaian penegakan hukum yang dapat digunakan untuk menuntut seseorang atas perbuatan yang tidak dilakukannya (conviction and punishment of a person for a crime he did non commit). 

Kerugian Negara Rp 193,7 Triliun Tidak Ada Kaitan dengan Tersangka

Dalam Siaran Pers Kejagung disebutkan, akibat beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah menyebabkan adanya kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun, terbagi dalam 5 (lima) cluster, yang bersumber dari komponen (1) Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp 35 triliun, (2) Kerugian Impor Minyak Mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun, (3) Kerugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun, (4) Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun, (5) Kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.

Namun, masih menurut Sugeng Teguh Santoso, komponen kerugian negara pada lima cluster itu ternyata tidak ada kaitan dengan pengoplosan/blending dan mark up kontrak shipping (pengiriman minyak) yang dituduhkan kepada para tersangka, yang dikualifisir obscuur libel. Tidak nyambung antara petitum dengan posita. Tidak ada relevansinya antara peristiwa hukum yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun, dengan dugaan pengoplosan/blending dan  mark up kontrak shipping (pengiriman minyak). 

”Fakta ini yang membuat penyidikan kasus korupsi Pertamina ini dicurigai sebagai bukan murni untuk penegakan hukum. Melainkan, memiliki tujuan-tujuan tertentu di luar hukum,” pungkas Sugeng. 
 

(Khafid Mardiyansyah)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya