Lalu pembicara lainnya, akademisi FH Universitas Indonesia, Febby Mutiara Nelson berpendapat pembatasan interaksi antara penyidik dan jaksa hanya satu kali dalam setiap perkara adalah kebijakan yang keliru dan tidak realistis. Dalam praktiknya, penuntut umum memiliki fungsi strategis yang seharusnya terlibat sejak awal proses penyidikan untuk menjamin bahwa setiap perkara berjalan sah, adil, dan proporsional.
“Tanpa mekanisme kontrol eksternal yang melibatkan kejaksaan atau pengadilan, upaya memastikan akuntabilitas dan perlindungan terhadap hak-hak tersangka menjadi ilusi,” tegasnya.
Febby menambahkan, istilah "penyidik utama" dalam Pasal 7 RKUHAP juga tidak memiliki dasar dalam doktrin hukum acara pidana. Febby mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah beberapa kali menolak pendekatan eksklusivitas kewenangan penyidikan, dan menggarisbawahi sistem peradilan pidana harus menjamin keseimbangan fungsi antara kepolisian, kejaksaan, dan lembaga penyidikan lainnya, terutama dalam konteks checks and balances.
Oleh karena itu, Febby mengusulkan RKUHAP memuat kewajiban koordinasi fungsional yang jelas antara penyidik dan penuntut umum. Menurutnya, hal ini tidak dapat diartikan sebagai intervensi independensi lembaga, melainkan langkah menciptakan struktur kerja yang akuntabel dan efisien. Dalam kerangka ini, jaksa harus memiliki kewenangan untuk memberikan petunjuk penyidikan yang mengikat, serta memiliki akses penuh terhadap hasil penyelidikan dan alat bukti sejak dini.