JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto mengambil alih penyelesaian polemik empat pulau yang diperebutkan Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) dengan melakukan evaluasi secara menyeluruh. Keempat pulau itu meliputi Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil.
Polemik ini bermula dari keluarnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri), yang menggeser batas Aceh secara administratif. Sehingga, empat pulau yang sebelumnya masuk wilayah Aceh menjadi bagian Sumut.
Langkah evaluasi yang diambil Prabowo didukung pakar hukum Henry Indraguna. Menurutnya, polemik yang terjadi bisa memicu konflik horizontal.
"Masing-masing pihak mengklaim keempat pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah administratifnya. Hal ini menimbulkan risiko konflik horizontal, kerancuan tata kelola, dan ketidakpastian hukum," ujar Henry lewat keterangan tertulis, Senin (16/6/2025).
"Berdasarkan Pasal 4 dan 7 UUPA, Aceh memiliki hak atas daratan, kepulauan, dan laut hingga 12 mil," kata Guru Besar Unissula Semarang itu.
Henry menjelaskan, perjanjian Helsinki 2005 memberikan dasar yuridis Aceh memiliki kewenangan khusus atas wilayahnya, termasuk pengelolaan pulau-pulau kecil di wilayah pesisirnya. Sehingga, empat pulau disengketakan secara historis telah menjadi bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, sebagaimana diakui dalam kerangka MoU Helsinki.
“Meskipun, secara geografis lebih dekat ke Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara," katanya.
Ia pun mendorong agar ada evaluasi menyeluruh terhadap Kepmendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang Penegasan Batas Daerah. Kemudian, pemerintah pusat perlu menjelaskan ke publik dan konsultasi ulang dengan Pemerintah Aceh sesuai prinsip otonomi khusus.
Selain itu, ia menekankan mengenai koordinasi dalam pelaksanaan UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Selain itu, pemerintah pusat harus memperhatikan perjanjian Helsinki dalam menyelesaikan persoalan ini.
Sebab, sengketa batas wilayah itu menyentuh berbagai aspek, seperti hukum, politik, dan integritas NKRI. Henry menegaskan, perlu diingat jika mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) memberikan masukan perjanjian Helsinki rujukan batas administrasi 1 Juli 1956 dan diakui dunia. JK juga merupakan sosok kunci perjanjian damai Helsinki.
(Arief Setyadi )