PADANG - Sekitar 50 ribu jiwa yang tersebar di 33 desa pesisir di Kepulauan Mentawai, saat ini masih tinggal di zona rawan bencana gempa dan tsunami akibat potensi gempa megathrust di segmen Siberut.
Pemerintah daerah mengingatkan masyarakat, agar terus meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan, mengingat potensi gempa besar dengan magnitudo hingga 8,9 bisa terjadi kapan saja.
“Megathrust ini bukan sesuatu yang kita tunggu, tapi kita berada dalam posisi berpotensi mengalami gempa besar. Karena itu, pemerintah daerah terus konsisten menyiapkan mitigasinya,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Kalaksa BPBD Mentawai, Lahmudin Siregar, usai kegiatan Promosi Mentawai sebagai Laboratorium PRB dan Adaptasi Perubahan Iklim yang Inklusif di Sumatera Barat di Kampus UNP, Kamis (26/6/2025).
Menurutnya, latihan kesiapsiagaan dan penyiapan jalur evakuasi terus dilakukan secara berkala dengan melibatkan masyarakat, pemerintah desa, dan dunia usaha.
“Ini kerja bersama. Semua pihak harus bahu-membahu, karena kita tidak tahu kapan bencana itu terjadi. Tapi kalau pun terjadi, kita berharap risiko bisa ditekan sekecil mungkin agar masyarakat bisa selamat,” ujarnya.
Dari sisi logistik, Dinas Sosial telah menyiapkan lumbung-lumbung sosial di setiap kecamatan. Ketersediaan bahan pangan untuk masa tanggap darurat terus dimonitor bersama Kementerian Sosial dan Taruna Siaga Bencana (Tagana).
“Kita pastikan logistik siap, sehingga jika bencana terjadi, tidak ada kendala dalam suplai makanan kepada masyarakat,” jelas Lahmudin.
Namun demikian, ia mengakui sistem peringatan dini seperti sirine tsunami di Mentawai masih mengalami kerusakan dan belum diperbaiki. Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk tidak bergantung sepenuhnya pada bunyi sirine dalam melakukan evakuasi.
“Kita punya golden time hanya 5–10 menit. Kalau menunggu sirine, bisa terlambat. Jadi masyarakat harus langsung evakuasi jika terjadi gempa kuat yang membuat mereka tak bisa berdiri,” tegasnya.
Ia juga mendorong penggunaan tanda-tanda lokal seperti lonceng gereja atau tiang listrik sebagai penanda darurat yang perlu disosialisasikan secara luas kepada warga.
Dari 33 desa pesisir di Mentawai, 10 desa di antaranya dikategorikan sebagai zona landaan tsunami. Lahmudin juga mengimbau masyarakat untuk menjaga dan menanam kembali hutan mangrove (bakau) di sepanjang pesisir sebagai pelindung alami dari gelombang besar.
“Menjaga hutan mangrove itu bagian dari mitigasi. Selain itu, masyarakat perlu menyiapkan tas siaga dan memahami bahwa kita tinggal di daerah rawan bencana,” katanya.
Terkait relokasi ke daerah yang lebih tinggi, Lahmudin menyebut bahwa pemerintah memang telah menyusun rencana jangka panjang tersebut, namun pelaksanaannya tidak mudah karena terbentur persoalan anggaran.
“Relokasi butuh biaya besar. Jadi kalau masyarakat masih tinggal di daerah pesisir, evakuasi mandiri harus disiapkan betul-betul. Pemerintah desa dan dunia usaha juga kami harapkan terlibat,” pungkasnya.
Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan salah satu daerah dengan tingkat risiko bencana tinggi di Indonesia. Wilayah ini juga menghadapi tantangan besar karena tingkat kemiskinan yang cukup signifikan, termasuk banyaknya kelompok rentan seperti lansia dan penyandang disabilitas.
Dengan luas wilayah 6.033,76 km persegi dan panjang garis pantai mencapai 1.402 km, Mentawai terdiri dari 10 kecamatan, 43 desa, dan 341 dusun yang tersebar di empat pulau utama serta 95 pulau kecil lainnya. Jumlah penduduk pada tahun 2023 tercatat sebanyak 89.401 jiwa, dengan tingkat kepadatan 14,82 jiwa per km persegi dan tingkat kemiskinan mencapai 13,97 persen.
(Awaludin)