JAKARTA – Di tengah perkembangan ekonomi China yang gemerlap, muncul sebuah fenomena unik yang bernuansa religius, tetapi kontroversial: meroketnya ekonomi kuil di Negeri Tirai Bambu. Dulunya ruang suci introspeksi dan perlindungan spiritual, kuil-kuil di seluruh China telah berubah menjadi pusat komersial yang ramai, lengkap dengan loket tiket, konter barang dagangan, dan biksu yang melakukan streaming langsung.
Tetapi kebangkitan pariwisata religius ini menimbulkan pertanyaan: apakah kebangkitan budaya yang sedang terjadi merupakan fenomena asli ataukah ada campur tangan Partai Komunis China (PKC) yang berkuasa untuk mendorong kapitalisme negara?
Dilansir The Singapore Post, Kamis (10/7/2025), angka-angkanya dari pariwisata religius ini bisa dibilang fantastis. Pada 2023, ekonomi kuil China bernilai hampir 90 miliar yuan (sekira Rp203 triliun), dengan proyeksi akan melampaui 100 miliar yuan (sekira Rp225 triliun) pada tahun 2025. Hampir 70% konsumen telah mengunjungi kuil, dengan 47,5% berusia 19 hingga 30 tahun. Pergeseran demografis ini belum pernah terjadi sebelumnya. Kecewa dengan stagnasi ekonomi, ketidakamanan pekerjaan, dan iklim politik yang menyesakkan, banyak pemuda China beralih ke dupa dan tasbih doa.
Banyak yang menilai ini bukan kebangkitan spiritual melainkan gejala keputusasaan, seperti yang dicatat oleh seorang penulis Kanada-Cina, penindasan politik, ketidakpastian ekonomi, dan keterasingan sosial telah membuat pemuda "tidak memiliki tempat untuk mundur atau maju". Dalam kekosongan ini, kuil tidak hanya menawarkan penghiburan, tetapi sedikit harapan.
Apa yang membuat tren ini lebih dari sekadar keingintahuan budaya adalah keterikatan mendalam PKC dalam ekonomi kuil. Jauh dari lembaga keagamaan independen, kuil di China adalah entitas yang dikendalikan negara. Mereka beroperasi di bawah kepemimpinan yang ditunjuk partai, dengan beberapa bahkan menampilkan potret Xi Jinping dan mempromosikan loyalitas partai sebagai bagian dari pesan spiritual mereka.
Ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan langkah strategis Beijing dengan memanfaatkan monopoli ruang keagamaan. Dengan langkah ini PKC memastikan bahwa bahkan perbedaan pendapat spiritual dialihkan ke saluran yang disetujui negara.
Kuil di China dilaporkan banyak yang alih-alih beroperasi sebagai tempat pencerahan justru menjadi seperti perusahaan. Banyak kuil yang telah ditetapkan sebagai tempat wisata 5A, membebankan biaya masuk yang tinggi dan menjual semuanya mulai dari kecap kulit jeruk keprok senilai 58 yuan (sekira Rp131 ribu) hingga minuman keras senilai 10 juta yuan (Rp22,5 miliar) per tahun. Platform online seperti JD.com melaporkan lonjakan 1.000% dalam penjualan gelang bertema kuil. Beberapa kuil bahkan telah meluncurkan boyband Buddha di Douyin (mitra TikTok China), lengkap dengan merchandise, klub penggemar, dan acara belanja streaming langsung.
Ini bukan hanya oportunisme, ini adalah kapitalisme yang diaktifkan negara. PKC telah secara aktif mempromosikan pariwisata budaya sebagai pilar konsumsi domestik. Menurut Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata China, pemerintah meluncurkan beragam produk pariwisata, termasuk situs keagamaan dan warisan, untuk meningkatkan pengeluaran internal. Akibatnya, negara bagian telah menangkap setiap simpul rantai nilai pariwisata mulai dari tiket dan barang dagangan hingga real estat dan perdagangan digital.
Komersialisasi tidak berhenti di perbatasan China. Kuil Shaolin, misalnya, mengoperasikan lebih dari 200 pusat budaya luar negeri di lima benua. Pusat-pusat ini melayani tujuan ganda: mempromosikan budaya Tiongkok di luar negeri dan menghasilkan pendapatan asing. Ekspansi global ini menggarisbawahi bagaimana PKC telah mengubah warisan spiritual menjadi alat kekuatan lunak dan komoditas ekspor.
Banyak pengamat menyarankan bahwa ekonomi kuil yang berkembang di China bukanlah mewakili kebangkitan iman sejati, tetapi tampilan yang dikuratori yang dibentuk oleh kepentingan negara. Suvenir berornamen dan persembahan komersial sering dianggap sebagai simbol berongga yang dikemas dengan indah, namun tidak memiliki kedalaman spiritual. Penindasan resmi selama beberapa dekade, terutama selama Revolusi Kebudayaan, terus membayangi ekspresi agama.
Saat ini, meskipun kuil-kuil penuh dengan aktivitas, para kritikus berpendapat bahwa esensi spiritualitas tetap dikompromikan. Transformasi situs suci menjadi pusat yang menguntungkan tampaknya kurang tentang ibadah dan lebih banyak tentang orkestrasi.
Di bawah pengawasan pemerintah yang ketat, praktik spiritual dikatakan disaring dengan hati-hati, menyisakan sedikit ruang untuk keyakinan independen. Apa yang muncul adalah pengalaman yang terkendali, lebih banyak tontonan daripada tempat perlindungan di mana kerinduan spiritual tidak dipenuhi dengan transendensi, tetapi dengan transaksi.
Ledakan ekonomi kuil di China tampaknya mencerminkan strategi negara untuk mendapatkan keuntungan dan memperkuat kontrol, daripada sekadar menyediakan perlindungan spiritual. Banyak anak muda memang mencari ketenangan dan makna di kuil, namun sistem yang ada dirancang untuk memaksimalkan nilai ekonomi dan politik, bukan kebebasan beragama.
Partai Komunis China secara aktif mengubah kuil menjadi sumber pendapatan, alat propaganda, dan aset pariwisata, sambil tetap menjaga tampilan kesinambungan budaya. Pada akhirnya, ekonomi kuil menunjukkan bahwa bahkan ruang sakral di Tiongkok tidak lepas dari pengaruh dan kendali negara.
(Rahman Asmardika)