Penabrak Mahasiswa UGM Divonis 14 Bulan Penjara, DPR: Cederai Moral Hukum!

Achmad Al Fiqri, Jurnalis
Minggu 09 November 2025 14:05 WIB
Anggota Komisi III DPR RI Abdullah (foto: Okezone)
Share :

JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, menilai putusan Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta, yang menjatuhkan hukuman 1 tahun 2 bulan penjara terhadap Christiano Tarigan, pelaku penabrakan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), tidak mencerminkan rasa keadilan publik. Ia menegaskan, vonis ringan tersebut menunjukkan bahwa hukum belum menghargai nyawa manusia secara setara.

“Ketika kehilangan nyawa hanya dibalas dengan hukuman setahun dua bulan, maka rasa keadilan publik menjadi luka yang terbuka. Ini bukan sekadar soal hukum positif, tapi soal moral negara dalam melindungi warganya,” kata Abdullah, Minggu (9/11/2025).

Seperti diketahui, Pengadilan Negeri Sleman menjatuhkan vonis 1 tahun 2 bulan atau 14 bulan penjara dan denda Rp12 juta kepada Christiano Pengarapenta Pengidahen Tarigan, pengemudi BMW yang menabrak dan menewaskan mahasiswa UGM Argo Ericko Achfandi di Jalan Palagan Tentara Pelajar.

Putusan yang dibacakan pada Kamis (6/11) itu lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum, yang meminta hukuman 2 tahun penjara. Vonis ini menuai perhatian publik karena dianggap terlalu ringan, mengingat telah menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.

Terkait hal itu, Abdullah mengatakan, putusan tersebut memang sah secara prosedural, namun tidak memenuhi aspek keadilan substantif.

“Vonis ringan ini tidak hanya melukai keluarga korban, tapi juga tak mencerminkan keadilan. Putusan ini memperlihatkan betapa sistem peradilan pidana kita masih gagal memberi efek jera bagi pelaku dan penghormatan bagi nyawa manusia,” tegasnya.

 

Abdullah juga menyoroti dugaan penggantian pelat nomor kendaraan pelaku sesaat setelah kecelakaan, yang menimbulkan persepsi publik bahwa ada upaya mengaburkan fakta hukum.

Menurutnya, hal itu menambah ketidakadilan dan dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.

“Tindakan sekecil apa pun dalam proses hukum harus dianggap serius. Kalau dugaan manipulasi fakta tidak dituntaskan, publik akan menganggap hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” jelas Abdullah.

Lebih lanjut, Abdullah mendorong agar kasus ini menjadi momentum untuk merevisi kebijakan pemidanaan dalam Undang-Undang Lalu Lintas.
Menurut anggota Komisi III DPR yang membidangi urusan hukum tersebut, kelalaian yang mengakibatkan kematian seharusnya dikategorikan lebih berat, dengan batas minimum hukuman yang memberikan efek jera dan penghormatan terhadap nilai kemanusiaan.

Selain itu, Abdullah juga menekankan pentingnya mekanisme kompensasi korban agar menjadi kewajiban negara, bukan sekadar bentuk belas kasihan moral.

“Pemulihan korban tidak cukup berhenti pada pelaku, tapi harus menjadi tanggung jawab negara untuk menjamin keadilan yang utuh,” ungkap Legislator dari Dapil Jawa Tengah VI ini.

Abdullah menegaskan, penegakan hukum harus menghadirkan rasa keadilan yang nyata di tengah masyarakat.

“Keadilan tidak boleh berhenti di ruang sidang. Ia harus dirasakan oleh keluarga korban dan diyakini oleh publik. Jika vonis ringan terus berulang, maka hukum kehilangan makna moralnya,” pungkasnya.

(Awaludin)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya