Meski menghadapi tantangan pembajakan digital, Ernest mengakui bahwa media sosial tetap tidak bisa dilepaskan dari strategi pemasaran film. Ia menyampaikan bahwa di tengah arus tren yang berubah cepat, kreator perlu memahami mekanisme promosi dan distribusi konten tanpa mengorbankan hak cipta.
“Suka tidak suka, peperangannya di TikTok. Mau tidak mau kita harus tahu cara kerjanya karena orang sekarang udah pintar-pintar. Mereka tahu kok kalau kita pakai buzzer dan segala macamnya,” ujar Ernest.
Oleh karena itu, DJKI mengimbau kreator media sosial dan penonton film agar tidak sembarangan memotong, menggunakan ulang, atau memparodikan film tanpa izin.
Yang tak kalah penting adalah menonton film melalui bioskop atau platform legal. Ini merupakah langkah sederhana yang paling penting dalam melindungi hak cipta dan memastikan kreator mendapatkan hak ekonominya secara adil.
Dengan meningkatnya literasi hak cipta serta kerja sama antara kreator, penonton, platform digital, dan pemerintah, Indonesia dapat membangun ekosistem film yang adil, sehat, dan berkelanjutan. Perlindungan kekayaan intelektual bukan sekadar kepatuhan hukum, melainkan bentuk penghargaan terhadap proses kreatif yang panjang dan penuh dedikasi.
(Agustina Wulandari )