Soal Bencana Sumatera, DIR: Mulanya Krisis Kemanusiaan, Jangan Sampai Menjadi Krisis Legitimasi

Tim Okezone, Jurnalis
Kamis 25 Desember 2025 19:17 WIB
Direktur Komunikasi Deep Intelligence Research Neni Nur Hayati (Foto: dok DIR)
Share :

JAKARTA - Bencana banjir di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh telah berlangsung selama sebulan. Hasil pemantauan media oleh lembaga riset Deep Intelligence Research (DIR) selama periode 25 November hingga 24 Desember 2025, menunjukkan bahwa topik pemberitaan media dan percakapan di media sosial terkait bencana banjir di Sumatera dan Aceh telah mengalami transformasi risiko yang cukup serius.

Kajian terhadap lebih dari 11 ribu media online, 200 media cetak, dan 93 media elektronik dengan bantuan mesin kecerdasan buatan menunjukkan bahwa mayoritas pemberitaan media arus utama masih 69 persen bernada positif. Pemberitaan tersebut antara lain berisi narasi manajemen krisis dan pembaruan penanganan bencana. Namun demikian, data juga menunjukkan adanya alarm serius berupa 28 persen sentimen negatif yang dipicu oleh isu keterlambatan bantuan dan dampak pascabencana. Demikian kesimpulan kajian Deep Intelligence Research (DIR).

Direktur Komunikasi Deep Intelligence Research (DIR), Neni Nur Hayati menyatakan, bahwa puncak pemberitaan bencana di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh terjadi pada 1 Desember 2025, dengan dominasi sentimen negatif yang selaras dengan masa darurat awal banjir bandang.

 

DIR mencatat, total media coverage dengan topik “Banjir Sumatera dan Aceh” mencapai 30.489 pemberitaan yang tersebar di 16.233 media lokal, 14.207 media nasional, dan 49 media internasional. Media Kompas.com, Tempo.co, dan Detik.com menjadi media teratas yang paling banyak memberitakan topik ini, disusul berbagai media lain dengan tone positif, netral, maupun negatif selama masa pemantauan 25 November hingga 24 Desember 2025.

Sementara itu, di ranah media sosial tercatat lebih dari 55.600 unggahan dari 28.100 netizen, yang menghasilkan volume percakapan (total talk) mencapai lebih dari dua juta interaksi. Hal ini merefleksikan bahwa satu isu bencana mampu memicu diskusi berkelanjutan secara organik dan memiliki resonansi emosional yang kuat.

“Interaksi tertinggi terjadi di platform Instagram dan TikTok. Di TikTok, interaksi mencapai 939.289, sedangkan di Instagram mencapai 909.837. Data ini menunjukkan bahwa percakapan terkait bencana sangat viral di kedua platform tersebut,” tambah Neni.

Menurut kajian Deep Intelligence Research (DIR), terdapat tiga klaster utama yang mendominasi percakapan publik. Pertama, klaster kemanusiaan yang berfokus pada kondisi korban dan kronologi bencana. Kedua, klaster gugatan sistemik, yakni munculnya pendapat publik yang menyebut bencana disebabkan oleh eksploitasi hutan dan pertambangan. 

Dugaan ini diperkuat dengan temuan kayu gelondongan di sejumlah lokasi banjir. Ketiga, klaster eskalasi politik yang memperlihatkan kritik langsung terhadap figur otoritas pemerintah atas keterlambatan penanganan bencana, yang mulai dipersepsikan sebagai krisis legitimasi negara dan kegagalan komunikasi publik. Klaster ini juga menunjukkan kritik terhadap kurangnya kepekaan negara saat krisis bencana ekologi terjadi.

“Hal yang patut menjadi perhatian adalah munculnya narasi disintegrasi, seperti kata kunci ‘merdeka’ di wilayah Aceh dan Nias sebagai bentuk protes atas anggapan abainya pemerintah pusat. Ini menandakan bahwa bencana telah bertransformasi menjadi alat tawar politik yang berpotensi mengancam stabilitas nasional,” tambah Neni.

 

Rekomendasi Strategis

Berdasarkan matriks risiko dan temuan peta isu dalam kajian media monitoring ini, Deep Intelligence Research (DIR) merekomendasikan beberapa langkah strategis.

Pertama, akselerasi status dan kehadiran simbolis negara, antara lain dengan segera menetapkan status bencana nasional untuk menjawab suara keras dari daerah seperti Nias dan Aceh yang merasa terpinggirkan. Kehadiran simbol empati negara dapat diwujudkan melalui kunjungan langsung pejabat tinggi, bahkan dengan menetap sementara di lokasi bencana guna meredam narasi “pejabat tak berempati”.

Kedua, transparansi dan penegakan hukum melalui investigasi terbuka dan audit terhadap 31 perusahaan sektor ekstraktif di Sumatera yang diduga memicu bencana ekologis. Publikasi hasil investigasi terkait temuan kayu gelondongan dinilai penting untuk menunjukkan bahwa negara berpihak pada keselamatan rakyat, bukan kepentingan korporasi.

Ketiga, mitigasi narasi dan kontra-disintegrasi melalui pendekatan dialogis dengan tokoh masyarakat dan aktivis lokal di lokasi pengungsian guna memutus rantai narasi separatisme organik. Selain itu, diperlukan penguatan kontra-narasi di TikTok dan Instagram untuk mengimbangi konten provokatif dengan informasi pemulihan yang nyata dan transparan.

Keempat, penanganan krisis ekonomi mikro, khususnya melalui intervensi harga pangan lokal di wilayah terdampak. Langkah ini penting untuk meredam kemarahan publik terkait krisis biaya hidup dan kelumpuhan logistik, terutama di tengah momentum Natal dan menjelang perayaan Tahun Baru, ketika kebutuhan bahan pokok meningkat.

(Awaludin)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita News lainnya