Selain itu, keberlanjutan isu perlu dirawat. Bukan liputan musiman saat bencana meledak, melainkan pelaporan berkelanjutan yang menautkan sebab-akibat dan aktor kebijakan. Di sinilah peran jurnalisme solusi dan kolaborasi dengan komunitas lokal menjadi krusial.
Sumatera saat ini tidak kekurangan bencana ataupun berita. Yang kurang adalah perhatian yang konsisten dan komunikasi yang berpihak pada kepentingan jangka panjang. Sumatera sedang kekurangan ruang dalam percakapan nasional.
Drama perselingkuhan akan selalu ada, tahun ini atau tahun – tahun berikutnya, dan mungkin akan selalu menjadi aib yang menarik untuk dibicarakan. Namun, ketika ia dibiarkan mendominasi agenda publik, krisis ekologis dipaksa berkompetisi dalam kondisi yang tidak adil. Agenda setting perlu ditata ulang secara sadar: oleh media melalui keberpihakan pada kepentingan publik jangka panjang, oleh platform melalui desain distribusi yang lebih bertanggung jawab, dan oleh warga melalui pilihan atensi yang reflektif.
Selama spiral of silence dibiarkan bekerja, bencana ekologis akan terus hadir sebagai latar belakang sunyi. Padahal, dalam senyap itulah masa depan sedang dipertaruhkan. Pada akhirnya, yang menjadi persoalan bukan hanya siapa yang berselingkuh dengan siapa, tetapi siapa yang diuntungkan ketika publik berhenti membicarakan hutan, deforestasi, kemanusiaan dan masa depan ekologisnya sendiri.
(Awaludin)