Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Meniru Elang, Ayam, Bahkan Monyet

Rus Akbar , Jurnalis-Jum'at, 22 Januari 2010 |11:43 WIB
Meniru Elang, Ayam, Bahkan Monyet
Turuk langgai.(foto:Rus Akbar)
A
A
A

MENTAWAI - Turuk laggai itulah tarian budaya dari Mentawai adalah tarian adat yang menyimbolkan binatang yang ada di lingkungan mereka tempati. Dalam turuk langgai, liukan tubuh dan rentakan kaki penari mengikuti irama gendang (gajeumak) seperti menirukan tingkah hewan seperti elang, ayam bahkan monyet.
 
Menurut Selester Saguruwjuw (50) tokoh masyarakat Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, mereka melakukan tarian itu karena semua aktivitas keseharian mereka selalu berkaitan dengan alam.
 
“Semua tarian itu memiliki makna dan arti menyatu dengan lingkungan yang mereka tempati dan memiliki kearifan dalam menjaga lingkungannya,” ujarnya saat ditemui beberapa waktu lalu.
 
Binatang yang mereka tirukan itu memang binatang yang benar ada di sekitarnya dan mereka lihat. Meski masyarakat Mentawai menjadikan binatang-binatang itu sebagai santapan, mereka juga tetap menjaga pertumbuhan dan kelestarian.
 
“Seperti monyet. Mereka kalau ingin berburu monyet tidak sembarangan memburunya dengan panah. Mereka harus melakukan ritual terlebih dahulu sesuai kepercayaan mereka. Tapi perlu diingat kepercayaan mereka lakukan bukanlah kepercayaan agama saat ini, namum kepercayaan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka yaitu Arat Sabulungan (Kepercayaan kepada Roh-roh gaib),” terangnya.
 
Turuk langgai yang mereka tampilkan ada dua macam. Yaitu, turuk puliaijat (ritual pengobatan) dan turuk punen (tarian pesta). Turuk puliaijat tidak akan ditampilkan dalam saat pesta, karena itu dilarang (kei-kei). Kenapa dilarang, menurut Selester, karena turuk tersebut melibatkan roh-roh halus saat melakukan pengobatan.
 
Tidak salah ketika mereka melakukan ritual turuk puliaijat itu sering terjadi kesurupan.Sebab banyak roh halus yang memasuki tubuh para sikerei (dukun) untuk menuntun mereka mengetahui sebab penyakit dan penujukkan obatnya kepada pasien yang menderita atau sakit.
 
“Tak hanya kesurupan saja, mereka juga akan melakukan perkelahian sengit mengusir roh jahat (sanitu/kina) yang dianggap telah memberikan penyakit kepada masyarakat. Itu makanya tidak bisa ditampilkan dalam acara atau momen dalam pesta atau festival budaya,” ulasnya.
 
Setelah melakukan pengusiran pada roh jahat barulah para sikerei mendapat ‘ilham’ dari roh halus atau dari roh leluhur mereka yang telah wafat. Sikerey kemudian seperti ditunjukan apa obat yang bisa dipakai untuk menyembuhkan orang yang tengah sakit itu. Tentu obat yang ditunjukkan tidak ada di apotik atau toko obat. Tapi obat yang biasanya berupa akar-akaran dan daun itu harus dicari di hutan.
 
“Perlu diketahui untuk mengetahui obat-obat tidak hanya melaluhi ritual turuk saja ada juga lewat mimpi,” sambung Selester.
 
Bagaimana dengan turuk punen. Menurut Markus Sagari (65) tokoh adat, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan, turuk punen sebagai turuk yang menyimbolkan kegembiraan atau pesta. Turuk ini dilakukan saat mendapat hewan buruan yang sangat berharga bagi warga Mentawai, seperti babi hutan, monyet, rusa, dan penyu.
 
Turuk ini juga bisa dilakukan saat pelantikan sikerei yang baru, peresmian rumah yang baru, sebagai hiburan lah. “Para warga dipersilakan menunjukkan kebolehannya. Turuk ini bebas, siapa saja lain halnya dengan turuk puliaijat itu dilakukan hanya sikerei saja,” katanya.
 
Markus mengatakan sebenarnya turuk ini sangat banyak jenisnya, semua binatang bisa ditirukan namun umumnya turuk hiburan ini ada tiga bentuk gerakannya. Turuk bilou (tari monyet), turuk manyang dan turuk gougouk dan manyang (tari ayam dan elang).
 
Turuk bilou, ini menceritakan monyet dan kawanannya kehidupan kesehariannya selalu bergembira, bernada ria dan bernyanyi pada saat cuaca cerah. Namun saat hujan monyet tersebut tidak lagi ria.
 
“Jika disimbolkan dalam masyarakat Mentawai, mereka umumnya petani kesehariannya pergi ke ladang dan berburu, jika cuaca yang baik mereka dapat terbantu mencari nafkah namun jika cuaca buruk mereka akan terganggu, begitu juga dengan monyet yang mereka tirukan,” jelasnya.
 
Turuk manyang, ini menceritakan tentang dua ekor elang mencari ikan sambil terbang. Satu elang mendapatkan ikannya, namun elang satu lagi merebut ikan yang sudah ditangkap kawanan elang lainnya sehingga menimbulkan perkelahian yang seru namun tidak menimbulkan korban. Akhirnya elang tadi mendapatkan bagian ikan yang mereka perebutkan.
 
“Jika diungkapkan dalam kehidupan masyarakat Mentawai, kami ini masyarakat egaliter setiap penduduk memiliki hak sama dan setiap permasalahan bisa dicari solusi pemecahannya untuk keadilan bersama,” ungkap Markus.
 
Bagaimana dengan cerita, turuk goukgouk dan manyang, inilah cerita seekor elang menangkap ayam kemudian pemilik ayam marah besar. Pemilik ayam tersebut memburu elang tersebut hingga tertangkap kemudian pemilik ayam membantai elang yang telah menangkap ayamnya.
 
“Ini menyimbolkan orang Mentawai tidak boleh diganggu terutama oleh pencuri. Jika ketahuan, maka pencuri akan diganjar dengan tulou (denda) sesuai adat yang berlaku,” ujar Markus.
 
Memang dalam tarian adat tersebut tidak ada gerakan yang teratur semuanya bisa melakukan gerakan sesuai gerakan binatang yang ditirukan. Penari tim pertama tidak akan sama gerakannya dengan penari lainnya meski tema atau judul tariannya sama.
 
“Dalam turuk tersebut akan melibatkan dua sampai tiga orang yang melakukan tarian, dan dibantu pemusiknya tiga orang atau penabuh gendangnya,” kata Markus.
Tentu gendangnya bukanlah gendang yang sudah modern, tapi gendang atau gajeumak yang dibuat warga. Gajeumak yang mereka tabuh itu terbuat dari kulit ular pyton dan kulit biawak yang sudah dijemur.
 
Sementara batang gendang terbuat dari pohon ruyung sepanjang satu meter lebih yang juga sudah mereka ukir dan keringkan, agar suaranya lebih nyaring. Sebelum melakukan turuk, gendang tersebut terlebih dahulu dipanaskan di perapian agar lebih kering. Dalam acara turuk tersebut tiga orang penabuh gendang dilibatkan. Dua gendang masing-masing berbahan kulit ular dan kulit biawak, sementara satu berperan memukul-mukul besi.
 
“Dalam turuk biasanya yang sangat dibutuhkan kelihaian merentakkan kaki yang sesuai dengan bunyi gendang dan kedua adalah menirukan gerakan yang ditarikan,” ujar Markus.
 
Untuk penari biasanya hanya memakai kabit (cawat) dan manai (bunga-bunga) serta aksesori dari bahan alam lainnya yang dibuat oleh orang Mentawai.
 
Turuk ini merupakan ciri khas bagi orang Mentawai dan banyak digemari oleh orang asing yang berkunjung ke Mentawai. Namun turuk ini tinggal tersisa di pulau Siberut. Sementara di Pulau Spora dan Sekakap sudah tidak dapat lagi dijumpai. Anda penasaran ayo berkujunglah ke Mentawai!

(Fitra Iskandar)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement