BANDA ACEH – Syafira tak dapat membendung kesedihan ketika menceritakan kembali peritiwa 12 tahun silam. Mengisahkan ulang gempa dan tsunami, sama dengan membuka luka lama yang sudah terbenam.
Sudah rencana Tuhan membawa gadis itu kembali ke Banda Aceh. Berangkat dari Simeulue, sehari sebelum gempa dan tsunami 26 Desember 2004, bersama keluarga besar, ia berangkat dan tinggal di Ulee Lheue. Daerah itu satu dari sekian banyak yang nyaris rata dengan tanah saat digulung gelombang hitam itu.
Selama setahun, Fira tinggal bersama keluarganya di Kepulauan Simeulue, Aceh. Berangkat ke Banda tidak lain untuk mengantar sang nenek menuju bandara, terbang menunaikan haji. Ia bersama 21 orang kerabat lain bermalam di rumah keluarga di kawasan Ulee Lheue, Banda Aceh.
Sekira pukul 08.00 WIB, pada Minggu 26 Desember 2004 itu, bumi Aceh diguncang gempa 9,3 skala Richter (SR). Sejumlah bangunan bertingkat rubuh. Orang-orang kebingungan, bencana apa yang akan terjadi. Tak lama berselang, gulungan air hitam muncul dari arah laut menghancurkan nyaris seluruh di hadapannya.
Fira yang masih berusia delapan tahun ikut merasakan amukan tsunami. Tak banyak yang dapat diceritakan. Yang ia tahu hanya gelap. Air tsunami keluar dari perut bumi akibat patahan besar hasil gempa yang terjadi di 160 kilometer dari utara Pulau Simeulue, Aceh dengan kedalaman 10 kilometer.
“Cuma Fira yang selamat dari seluruh keluarga di rumah itu,” kisahnya kepada Okezone, Senin 26 Desember 2016. Ia terbawa gelombang besar pasang hingga tiga kilometer dari rumah. Gadis itu selamat setelah tersangkut di salah satu toko penjual gas.
Gadis kelahiran 1996 itu harus rela kehilangan seorang kakak dan dua orang adiknya. Namun fakta paling menyakitkan ialah ia kehilangan kedua orangtuanya.
Tidak ada yang dapat menolak takdir Allah terhadap seorang hamba. Itu pun yang diyakini hingga di bangku kuliah. Bagi Syafira, kehilangan kedua orangtua selayak hilang harta tak ternilai.
Saat mengikuti malam renungan 12 tahun bencana gempa dan tsunami di Museum Tsunami, Aceh, Syafira ditunjuk sebagai pembaca puisi. Tidak segan-segan, ia membacakan sajak ciptaan Ahmad Sina Reza;
Surat Kecil untuk Mama
Masih rapi dalam ingatan
Saat mama antar aku ke pintu sekolah