SURABAYA- Pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyebut jasa penukaran uang di pinggir jalan mengandung riba, mematik reaksi keras dari Jaringan Islam Anti-Diskriminatif (JIAD) Jawa Timur.
Menurut Presedium JIAD Jatim, Aan Anshori, pernyataan MUI mengharamkan jasa penukaran uang informasi masih terlalu dini sebab tanpa didasari dengan pengumpulan fakta yang ada di lapangan.
"Praktik tersebut tidak semata-mata langsung disamakan dengan riba yang telah jelas keharamannya dalam Alquran. Sikap MUI ini sangat berlebihan menyikapi persoalan tersebut," cetus Aan kepada okezone, Kamis (11/8/2011).
Dia menjelaskan, persoalan riba bukan sebatas pertambahan nilai barang dari barang yang ditukar. Oleh karenanya jika unsur ini saja terpenuhi, maka konsekuensinya cukup serius dan berdampak pada praktik perdagangan yang lazim digunakan di masyarakat.
Selain itu, unsur lain yang harus terpenuhi dalam riba apakah terjadi eksploitasi terhadap warga miskin dari transaksi dan sejauh mana eksploitasi itu beroperasi. MUI harus membuat kajian secara mendalam atas persoalan tersebut. Jangan langsung diputuskan haram, karena masih banyak aspek-aspeknya.
"MUI wajib menjelaskan kepada publik sejauh mana aspek ekspolitasi terjadi dalam praktik penukaran uang di jalan," kata Aan.
Pada kenyataannya dalam penukaran uang itu ada selisih Rp10 ribu dari penukaran Rp100 ribu, hal itu bisa dipahami kedua belah pihak, yakni pengguna dan pemberi jasa sebagai uang pengganti jasa.
Salah satunya, seberapa jauh keluhan masyarakat yang masuk ke MUI atas praktik tersebut yang hampir terjadi setiap tahun.
"Jika MUI tidak mampu melakukan hal tersebut, maka terbukti MUI terkesan lebay dan bekerja tanpa mandat yang jelas dari rakyat," tandasnya.
(Kemas Irawan Nurrachman)