Sindonews.com-Makna kepahlawanan, sejak zaman Soeharto mulai bergeser dari sustansi. Pemberian gelar lebih cenderung pada pertimbangan politik. Kepahlawanan seharusnya ditekankan pada tauladan dari nilai-nilai perjuangan untuk diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Menjadi ironi jika memperingati hari pahlawan sebatas seremoni. "Pada masa Soekarno, tokoh-tokohnya 50 persen masih bisa dipertanggungjawabkan," ujar sejarawan Universitas Indonesia (UI) JJ Rizal, Jakarta, Rabu, 9 November 2011.
Menurutnya, pemberian gelar pahlawan tidak mutlak berdasarkan pertimbangan sejarah. Tapi, setelah ditetapkan secara resmi hari pahlawan, figur-figur yang secara historis ikut berjuang pun diberi gelar kepahlawanan.
Bahkan, mulai dicampuri kepentingan rezim penguasa."Saat ini kita sudah kehilangan warisan nilai-nilai perjuangan yang dibawa oleh para pahlawan. Semua sekarang penuh dengan kepentingan," tukasnya.
Menjelang tahun 1950-an, atau tepatnya tanggal 10 November ditetapkan sebagai hari pahlawan. Usulan ini datang dari mantan pimpinan tertinggi gerakan Pemuda Republik Indonesia (PRI) Sumarsono yang ikut dalam pertempuran hebat antara arek-arek Suroboyo dengan serdadu NICA yang diboncengi Belanda.
Rizal mengatakan, Bung Karno sengaja menjadikan momentum kala itu untuk melegitimasi peran militer dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Sehingga nilai kepahlawanan tersemat dalam sebuah perjuangan melawan agresi militer.
"Untuk memobilasi kepahlawanan secara militeristik, makanya 10 November dijadikan Hari Pahlawan," jelasnya.
Secara terpisah, Menteri Koordinator Politik, hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Djoko Suyanto mengajak semua pihak untuk mencermati kembali makna kepahlawanan. Menurutnya, kepahlawanan tidak mesti dari kalangan yang mengangkat senjata saja.
"Tapi kepada pihak yang membangun untuk masyraakat ini, bagi yang berjuang tanpa pamrih tanpa melihat untung rugi. Jadi nilai-nilai yang perlu ditekankan," ucapnya dalam perbincangan di Sindoradio pagi ini.
(Kurnia Ilahi)