JAKARTA - Menanggapi munculnya wacana peraturan berpakaian di gedung DPR, politisi PDI Perjuangan Aria Bima menyatakan, pemberlakuan peraturan itu jangan terkesan menyudutkan kaum perempuan. Peraturan atau tata tertib berbusana tersebut mestinya berlaku umum, baik laki-laki maupun perempuan.
“Jangan diskriminatif, seksis, bias gender, dan menempatkan kaum perempuan sebagai tertuduh,” kata Aria Bima kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (8/3/2012).
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI ini menjelaskan, selama ini sebenarnya di DPR sudah berlaku semacam konvensi atau peraturan tak tertulis bahwa para penghuni dan tamu gedung parlemen tidak boleh mengenakan kaos oblong atau t'shirt. Namun konvensi ini seakan hanya tertuju kepada kaum pria.
Karena itu, Aria Bima mengusulkan, jika sekarang akan dibuat peraturan atau tata tertib berbusana, mestinya substansinya mengarah kepada ketentuan berpakaian formal. Dan hal itu berlaku baik bagi anggota dewan, PNS sekretariat DPR, staf anggota dewan, maupun tamu/undangan, baik laki-laki maupun perempuan.
Aturan berbusana yang hanya membatasi hak berekspresi kaum perempuan, menurut Aria Bima, selain bias gender, juga tidak adil.
“Karena DPR ini adalah lembaga tinggi negara, maka tata tertib berbusananya idealnya ya mengikuti protokoler formal atau baku, sebagaimana berlaku di lembaga tinggi negara lainnya. Baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan,” katanya.
Ihwal apakah suatu pakaian dianggap seksi atau tidak sopan, menurut Aria Bima, sifatnya relatif, tergantung nilai budaya, agama, dan subyektivitas individu masing-masing. Karena itu sulit jika tata tertib berbusana itu kriterianya “tidak boleh seksi” seperti yang pekan ini menghiasi halaman media massa.
Menurut Aria Bima, lebih baik dan mudah diterapkan jika acuannya busana formal. Dalam hal ini, dengan dibantu profesional terkait, pimpinan DPR bisa menyebutkan definisi busana formal tersebut, jika perlu disertai contoh-contoh desainnya. “Ini pun tidak perlu terlalu kaku atau harus seragam seratus persen. Sebab DPR ini bukan institusi militer atau semi militer yang identik dengan uniform,” imbuhnya.
Menurut Aria Bima, jika anggota dewan diberlakukan aturan berbusana nasional (safari/jas), maka para staf dapat diarahkan untuk mengenakan busana batik atau berbahan khas Nusantara lainnya, seperti lurik. Dengan demikian, memiliki nilai tambah mendorong kecintaan kepada produk dalam negeri dan budaya bangsa sendiri.
Merasa Risi
Aria Bima mengaku, sebenarnya dirinya merasa risi ikut berkomentar soal sepele, seperti masalah cara berpakaian di kompleks DPR ini. Namun, lantaran isu tata tertib berpakaian sudah mengarah kepada ketidakadilan gender, dengan menempatkan kaum perempuan “sebagai tertuduh”, ia terdorong ikut urun rembug.
“Kita sudah membentuk Komnas Perlindungan Perempuan. Kita juga sudah menyepakati bahwa dalam setiap pembuatan kebijakan, atau peraturan apa pun, tidak boleh diskriminatif dan harus mengarusutamakan keadilan gender. Tapi mengapa ketika hendak mengatur tata busana di gedung parlemen, lagi-lagi kaum perempuan yang dipersalahkan?” ujarnya.
Untuk mendorong suasana kerja formal, sesuai status DPR sebagai lembaga tinggi negara tadi, jauh sebelum muncul ribut-ribut soal “busana seksi di DPR” sekarang ini, Aria Bima sudah berinisiatif membuatkan pakaian safari dan blazer untuk anak buahnya.
Staf laki-laki mendapat jatah safari, sedangkan yang perempuan blazer. Bukan hanya staf ahli, asisten pribadi, dan sekretaris, bahkan ajudan dan sopir pribadinya pun ia buatkan baju safari.
(Insaf Albert Tarigan)