JAKARTA - Kritik keras terus disuarakan atas penandatanganan nota kesepahaman (MoU) eksploitasi sumber mata air Umbulan tanpa mempertimbangkan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Ketentuan bahwa setiap kontrak kerjasama eksploitasi sumber daya alam di bumi Indonesia wajib disampaikan kepada masyarakat sebagai pemilik kedaulatan mensyaratkan MoU wajib dibuka ke publik secara transparan.
Hal itu ditegaskan Fungsionaris Partai Golkar, Muhammad Misbakhun, menanggapi pernyataan Bupati Pasuruan Irsyad Yusuf, soal kritik terhadap MoU Air Umbulan. Irsyad diketahui menyatakan proyek Umbulan akan menguntungkan warga Pasuruan. Proyek bernilai triliunan rupiah itu akan memberi keuntungan baik dari sisi pendapatan asli daerah (PAD) maupun bagi warga sekitar.
Menurut Misbakhun, pernyataan bupati demikian tetap belum sebuah penjelasan utuh. Bahkan dalam konteks tertentu bisa dianggap sebagai klaim karena disampaikan tanpa bukti, semisal pasal-pasal dalam MoU kerjasama eksploitasi mata air Umbulan.
"Bupati Pasuruan, selaku pihak yang melakukan tanda tangan MoU mega proyek pengelolaan dan pemanfaatan sumber air Umbulan, harus berani membuka isi dan poin-poin apa saja yang ada dalam MoU tersebut," tegas Misbakhun dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (20/9/2013).
Misbakhun mengkritik Bupati Irsyad Yusuf soal penandatangan MoU Umbulan dengan Pemprov Jatim tanpa ada Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) terlebih dahulu. Menanggapi itu, Pemkab Pasuruan berkelit bahwa mengenai AMDAL itu diatur di dalam MoU, bahwa AMDAL wajib diadakan sebelum proyek dilaksanakan.
Hal itu aneh, menurut Misbakhun. Sebab UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup isinya mensyaratkan ada AMDAL. UU tersebut dengan tegas menyebutkan bahwa AMDAL diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan atau kegiatan.
"Sementara Bupati Pasuruan, menandatangani MoU Mega Proyek tersebut tanpa menunggu AMDAL terlebih dahulu. Apakah wajar apabila ada MoU mengatur AMDAL? Seharusnya AMDAL dibuat baru disusun studi kelayakan proyeknya. Setelah itu, dibuat dan disusun MoU-nya sebagai payung aturan dengan mengacu pada AMDAL dan studi kelayakan proyek yang dibuat,” terangnya.
Lebih jauh, Caleg Partai Golkar Dapil II meliputi Pasuruan dan Probolinggo itu mengatakan, masyarakat Pasuruan harus menjadi pihak yang paling diuntungkan dalam pengelolaan sumber air tersebut.
Masalahnya, walau MoU sudah ditandatangani, masih belum jelas apakah masyarakat Kabupaten Pasuruan masih harus membayar untuk memanfaatkan sumber air tersebut atau tidak.
"Itu belum jelas. Berapa prosentase bagi hasil atas retribusi air yang digunakan dan dimanfaatkan oleh daerah lain? Itu juga belum jelas," tukasnya.
Karena itu, sebagai bagian dari transparansi, Misbakhun mendesak Bupati Pasuruan segera membuka isi dari MoU tersebut. Karena jawaban yang disampaikan oleh Bupati maupun oleh pihak Pemkab Pasuruan tidak memperjelas posisi masyarakat dari proyek tersebut.
"Harus jelas apa yang menjadi hak dan tanggung jawab masyarakat dan pemerintah daerah, pemerintah propinsi dan pemerintah pusat," tegas dia.
Dia juga mengatakan bahwa Pemkab Pasuruan tidak pas bila menyatakan tidak akan ada kerugian negara akibat proyek itu hanya karena APBD Kabupaten Pasuruan tidak digunakan dalam proyek itu. Sebab bagaimanapun sumber air umbulan adalah aset negara yang harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. "Apabila ada kerugian di belakang hari, maka itu adalah kerugian negara," tandasnya.
Selain oleh Misbakhun, kritik atas MoU Umbulan juga disuarakan Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, dan Uchok Sky Khadafi dari FITRA.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan, mengatakan mata air sebagai kekayaan alam agraria harus ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka dalam rangka melindungi tujuan tersebut UUD 45 memandatkan perlunya Hak Menguasai Negara (HMN), yang mana HMN bisa diserahkan kepada Pemda.
HMN memandatkan kepada negara untuk melakukan pengurusan, pengaturan, pengawasan, dan pengelolaan agar kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. "Pemda yang melakukan pengurusan dan pengaturan mata air tidak boleh menyimpangi aturan yang berlaku, misalnya MoU tanpa AMDAL maupun MoU tanpa partisipasi masyarakat," tegasnya.
MoU Tanpa AMDAL dan tanpa partisipasi masyarakat dalam perencanaan, kata Gunawan, mengakibatkan ketidakpastian APBD. Sekaligus menyebabkan ketidakpastian apakah mata air itu bisa dipertanggungjawabkan dan diperuntukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(Muhammad Saifullah )