Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Abbott Diminta Tak Hambat Proses Normalisasi RI-Australia

Stefanus Yugo Hindarto , Jurnalis-Rabu, 11 Desember 2013 |19:05 WIB
Abbott Diminta Tak Hambat Proses Normalisasi RI-Australia
Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbott dan Presiden SBY. (Foto: Reuters)
A
A
A

JAKARTA - Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda mengingatkan Perdana Menteri Australia Tony Abbott agar berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan terkait kasus bocornya penyadapan Australia terhadap sejumlah petinggi di Tanah Air.

Menurut Hassan, saat ini Indonesia dan Australia sedang menyusun langkah-langkah perbaikan hubungan bilateral. Oleh karenanya, PM Australia sebaiknya tidak memperkeruh keadaan.

"Sepanjang proses penyusunan code of conduct antara Indonesia dan Australia sedang berlangsung, sebenarnya tidak perlu banyak komentar ke publik. Biarkan kedua tim bekerja tanpa interfearence," kata Hassan, di Jakarta, Rabu (11/12/2013).

Ia mengatakan, Abbott harusnya berbesar jiwa dan meminta maaf seperti yang dilakukan Presiden Amerika Barack Obama saat ketahuan menyadap Jerman.

"Yang mesti disadari ada kepentingan besar kedua negara untuk menyelesaikan masalah ini, agar kita bisa 'move on' dan membuat hubungan yang saling menguntungkan," tukas Hassan.

Hubungan Australia dengan Indonesia memang selalu menghadapi pasang surut. Sebelum terbongkarnya penyadapan Australia, beberapa kasus yang mempengaruhi tensi politik kedua negara juga muncul. Misalnya saat Australia memberikan suaka kepada sejumlah aktivis Papua merdeka diawal 2000-an.

"Sebenarnya dari 2003, ada stabilisasi. Hubungan antarpemimpin bisa meredakan tensi dan menjadi sebuah kerja sama yang menguntungkan bagi kawasan," tukasnya.

Hassan mengingatkan, Australia berutang budi kepada Indonesia saat akan bergabung dengan kawasan Asia Timur. "Saat itu, ASEAN ditambah China, Korea, dan Jepang hampir pasti menolak Australia masuk dalam kawasan. Alasannya karena kultur Australia yang lebih dekat dengan eropa ketimbang Asia dan kepetidakpercayaan negara-negara di Asia Timur pada Australia. Tapi Indonesia membantu agar Australia masuk," tukasnya.

Setelah kasus penyadapan ini, kata Hassan, beberapa negara di Asia Timur ikut bereaksi. "Dengan Australia yang melakukan seperti ini pada Indonesia, teman-teman Indonesia di Asia Timur akan semakin tidak percaya dengan Australia. Dia telah merusak trust and confidence," kata Hassan.

Hassan juga menceritakan, salah satu kerja sama Indonesia dengan Australia yang terpaksa dilakukan yakni mengenai penanganan imigran ilegal yang berasal dari negara konflik. Isu penanganan imigran ilegal memang menjadi komoditi politik nasional Australia. Bahkan, isu tersebut mampu memenangkan Partai Liberal dan Tony Abbott dalam pemilu di Australia beberapa bulan silam.

Isu imigran ilegal yang mencari suaka ke Australia menjadi sangat penting sebab pemerintah Australia mulai kewalahan menanganinya. Sejak 2002, Indonesia sebagai negara transit para imigran memiliki peran yang penting.

Posisi Indonesia bisa membiarkan ataupun melakukan penegakan hukum terhadap para imigran ilegal yang sedang transit. Kerja sama Indonesia-Australia dalam menangani imigran ilegal itu disebut coordinated collaterals. Kerja sama ini kemudian dibekukan setelah terbongkarnya kasus penyadapan Australia pada Indonesia.

"Karena itu dalam hal code of conduct yang baru perlu ditata kembali dengan memberikan perspektif politik. Australia harus menjadikan Indonesia mitra kerja strategis. Sebab mereka punya kepentingan besar dengan kita," kata Hassan.

Hassan mengingatkan, saat ini Indonesia mulai memasuki masa pemilu. Oleh karena itu, Perdana Menteri Australia sebaiknya lebih menjaga sikap dan tidak mengganggu. "Mereka juga harus tahu kalau kita dalam masa pemilu. Saya rasa mereka jangan menyulut nasionalisme kita dengan pernyataan-pernyataan tertentu," tukasnya.

Sebelumnya dalam wawancara dengan radio Fairfax akhir pekan lalu, PM Australia Tony Abbott menyatakan dirinya tidak setuju jika harus menghentikan kegiatan mata-mata dan penyadapan terhadap Indonesia dimasa mendatang. Abbott juga menolak untuk mengonfirmasi persetujuannya terhadap enam poin rencana untuk memperbaiki hubungan kedua negara yang diajukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Yang kami setujui hanya membuat komunikasi lebih baik agar setiap isu panas yang muncul dapat dihadapi dengan cepat sebelum menjadi drama publik," tukas Abbott seperti dikutip dari The Guardian.

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement