JAKARTA - Komisi III DPR mengingatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar terus mengusut kasus korupsi di sektor pajak sampai ke akar-akarnya. KPK disarankan untuk tidak berhenti pada kasus yang menimpa Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Poernomo.
"Upaya KPK memerangi kejahatan di sektor pajak jangan sampai terhenti pada kasus Hadi Poernomo dan BCA. Saya mendesak KPK untuk segera mengambilalih penanganan kasus manipulasi restitusi pajak yang diduga dilakukan oleh Wilmar Group," ujar Anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (28/4/2014).
Bambang menjelaskan, terungkapnya kasus Wilmar Group bukan bersumber dari laporan masyarakat, melainkan dari temuan dan laporan pegawai pajak sendiri, yakni Kepala Kantor Pajak Pratama Besar Dua, M Isnaeni.
"Menurut laporan itu, dua anak usaha Wilmar Group, PT Wilmar Nabati Indonesia (WNI) dan PT Multimas Nabati Asahan (MNA) diduga memanipulasi perhitungan restitusi pajak," sebut Bambang.
Politisi Partai Golkar ini mengungkapkan, hingga Desember 2013 lalu, penanganan kasus ini tidak pernah jelas. Padahal, kasus ini mulai mengemuka sejak 2009-2010. Di mana kasus ini sempat ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung), tetapi kemudian dikembalikan ke Ditjen Pajak dengan alasan tidak cukup bukti.
"Jangan lupa, kasus ini sempat dipendam. Isnaeni pertama kali melaporkan kasus ini kepada atasannya, Dirjen Pajak (saat itu) Darmin Nasution dan M Tjiptardjo selaku Direktur Intelijen dan Penyidikan Pajak. Setelah delapan bulan menunggu sia-sia, Isnaeni pun membawa kasus ini ke Komisi III DPR," bebernya.
Lantaran sudah terlalu lama kasus ini diambangkan, Bambang menduga, kasus Wilmar Group ini memuat banyak kepentingan sehingga ada keengganan aparat penegak hukum untuk menanganinya.
"Oleh karena itu, sudah cukup alasan bagi KPK untuk mengambilalih penanganan kasus ini," tukasnya.
Sekadar diketahui, menurut data yang diperoleh Panja Mafia Pajak Komisi III DPR, PT Wilmar International Limited Group diduga melakukan pengelapan pajak senilai Rp500 miliar dengan modus mendirikan perusahaan (72 perusahaan) di wilayah berbeda yang memiliki usaha di bidang sawit (trading, minyak goreng dan turunannya).
Mereka kemudian melakukan perbuatan haram itu dengan cara transaksi fiktif antar perusahaan dalam grup, merekayasa laporan keuangan dan melakukan transfer pricing antar grup.
Adapun PT Wilmar sendiri memiliki kawasan izin berikat yang dilakukan guna mempermudah transaksi antar group. Mereka diduka melakukan tindak pidana perpajakan dengan menerbitkan dan menggunakan faktur pajak fiktif yang dimanfaatkan untuk proses restitusi PPN.
(Rizka Diputra)